Dengan sontekan bagian dalam kaki kanan, Xherdan Shaqiri memupus harapan Spanyol menang di 90 menit waktu normal Perempat Final Euro 2020. Shaqiri, aslinya adalah pemain kidal. Tapi, sebagai penyerang kelas dunia, sudah wajib punya kaki kanan yang kekuatan dan akurasinya sebaik kaki kiri.
Gol… penyama skor 1-1. Dan Shaqiri merayakannya dengan selebrasi yang berbeda dengan saat dia bermain untuk klub di Liga Primer Inggris—baik Liverpool maupun Stoke City. Di klub, kedua tangan Shaqiri terlipat, bersedekap. Di Euro 2020, selebrasi Shaqiri mirip Elang yang sedang melayang, terbang tinggi.
Di pentas Euro 2020, Shaqiri hampir tenggelam oleh Granit Xhaka, yang jadi kapten tim, menggantikan dirinya. Xhaka, dianggap pelatih Vladimir Petkovich layak menyandang ban kapten Swiss di Euro 2020.
Tapi Shaqiri “mengamuk”, menyelamatkan Swiss dari lubang jarum. Lolos dari fase grup, setelah mengalahkan Turki 3-1. Tentu dari dua gol Shaqiri. Di fase gugur babak 16 besar, Swiss menumbangkan raksasa sekaligus juara Piala Dunia 2018, Prancis. Shaqiri tak mencetak gol. Tapi pergerakan dan operan-operannya, yang membuat alur bola tim Swiss mengalir. Merepotkan Prancis.
Baru di perempat final, Shaqiri mencetak gol penyama kedudukan. Selebhnya, cerita kemenangan Spanyol yang lebih siap dan beruntung untuk memenangkan laga lewat adu penalti. “Kami ke luar lapangan dengan kepala tegak. Permainan anak-anak kami bagus. Kami hanya kurang beruntung,” kata Petkovich. Ya, memang selain matematika, sepakbola punya logika keberuntungannya sendiri.
Tapi, Shaqiri, Haris Seferovic, dan sang pelatih Petkovic, membuat benchmark baru buat Swiss. Yakni menembus perempat final turnamen dunia. Pahlawan Swiss, adalah seluruh pemain yang berlaga. Karena… ya, Swiss bukan sekumpulan pemain bintang yang menonjol satu sama lain. Swiss, bermain secara kolektif—seperti Italia dan Denmark dua semifinalis Euro 2020.
Kalau mau disebut ada yang menonjol saat laga versus Prancis dan Spanyol, adalah Yann Sommer, sang kiper. Pelatih Spanyol, Luis Enrique seringkali memegang kepalanya kala bola tembakan-tembakan anak asuhnya mental di tangan Sommer. Atau malah ditangkap. Lengket betul genggaman Sommer Sabtu malam itu di 120 menit pertandingan. “Kalau keberuntungan ada di pihak Anda, menyenangkan sekali. Saya bilang ke para pemain. Tidak usah cemas. Kalian sudah bermain baik. Memang inilah, harus ditentukan demikian (dengan adu penalti),” ujar Enrique.
Enrique sebetulnya yang cemas. Karena Sommer, begitu bagus di 120 menit pertandingan. Tapi, seperti kata Enrique, keberuntunganlah yang membawa Spanyol melaju ke semifinal Euro 2020.
******
Elang, adalah simbol bendera Albania, identitas masyarakat di Kosovo, asal keluarga Shaqiri. Perang, membuat ayah dan ibu Shaqiri mesti hijrah ke Swiss. Membawa Shaqiri dan tiga saudaranya.
Masa kecil Shaqiri tidaklah gemerlap. Hidup di tengah kemiskinan, membuat Shaqiri kecil harus bertahan hidup. Membantu kedua orang tuanya. Ayahnya, bertani di lereang gunung Alpen. Ibunya, menjual baju di pasar, setelah menjadi penatu panggilan. Kedua pekerjaan itu dilakoninya sebelum dan setelah sekolah.
Di sekolah, Shaqiri kecil jadi anak yang dianggap aneh. Karena penguasaan bahasa dan tingkah laku yang berbeda dari anak-anak Swiss. Shaqiri kecil, sering kedapatan sedih, karena menjadi “alien” di sekolahnya.
Tapi beruntung, sang ayah, Isen Shaqiri memasukan Shaqiri ke klub yunior sepakbola. Motivasi Isen, membuat Shaqiri bisa menjelang masa depan yang lebih baik. Sambil membuat Shaq, tak lagi memikirkan perlakuan teman-temannya di sekolah.
Tak butuh waktu lama, kaki kiri Shaqiri membawanya menjadi bintang cilik di klub yunior. Julukannya, Magic Dwarf alias Kurcaci Ajaib. Ya, tubuh Shaqiri pendek, tak seperti kawan-kawannya. Di klub, Shaq, menjadi pemain sayap kiri. “Jangan pernah lupa, dari mana asalmu,” kata sang ayah, setiap kali Shaqiri bertanding dan menjadi bintang.
Petualangan Shaqiri di klub profesional dimulai di Basel, klub papan atas Swiss. Lalu ke Jerman di Bayern Munchen, Inggris di Stoke City hingga kini di Liverpool. Di Liverpool, Shaqiri pada musim 2018-2019 dan 2019-2020 sering menjadi penyelamat tim. Baik melalui gol, operan yang menghasilkan gol, atau operand an gerakan tanpa bola yang mengubah alur permainan Liverpool. Termasuk mengalahkan Barcelona empat gol tanpa balas di Anfield, kandang Liverpool.
Namun di 2020-2021, nasibnya berubah 180 derajat. Shaqiri nyaris tak dipakai Jurgen Klopp.
****
Puja puji di akun media sosial dari pendukung Liverpool FC pada malam Shaqiri meloloskan Swiss ke babak 16 besar, bertemu Prancis. “Akhirnya, dia menampilkan permainan menawan lagi. Kaki kanannya (the right foot, bisa juga berarti kaki yang tepat), digunakannya untuk mencetak gol.” Begitu bunyi salah satu cuitan pendukung The Kop. Lainnya lagi berseloroh, “Manajemen bisa berpikir ulang memasukannya dalam daftar jual, atau menambah pundi-pundi keuangan klub?”
Nasib Shaqiri, di musim 2020-2021 tak semanis 2019-2020 atau 2018-2019. Cedera menghalanginya menjadi pemain yang diutamakan pelatih Jurgen Klopp. Sementara pemilik klub, John W. Henry berpikir tentang keuangan klub yang terdampak pandemi. Sehingga Henry—seperti biasa musim-musim sebelumnya yang mensyaratkan Klopp untuk menjual bila ingin membeli pemain baru —ingin menjual enam pemain. Termasuk Shaqiri (baca: Mimpi Liga Super John W Henry). Tapi buat supporter Liverpool, Shaqiri masih bertaji.
Dua gol yang meloloskan Swiss dan satu gol penyama kedudukan kontra Spanyol—dua-duanya pakai kaki kanan—membuat nilai Shaqiri di bursa transfer bakal meningkat. Toh Shaqiri tak lagi betah di Liverpool. Meski mencoba diplomatis menjawab wartawan. “Saya masih di klub ini, dan setelah Piala Eropa masih ada di klub ini. Tapi saat itu saya akan bicara dengan agen saya. Kita lihat bagaimana kelanjutannya,” kata Shaqiri pada Mei, di akhir musim 2020-202 Liga Primer Inggris.
Ada sejumlah klub Italia yang menginginkan jasanya, salah satunya AS Roma yang kini ditukangi Jose Mourinho. Berniat hengkang adalah opsi terbaik Shaqiri, setelah musim Liverpool yang terjerembab dari kampiun menjadi hanya peringkat ketiga. Itupun setelah para pesaingnya—Leicester City dan Chelsea—terpeleset di laga-laga akhir musim.
Magis Klopp tak seperti tiga musim sebelumnya. Mengangkat Liverpool dari papan tengah, menjadi jawara. Salah satu alasannya, seperti Klopp berkali-kali berkeluh kesah,” Kami tidak punya pilihan di bangku cadangan.” Ya, Liverpool di bawah Henry—lagi-lagi—memang terbukti sangat hemat dalam belanja pemain– catatan berapa belanja pemain di era Henry, dibandingkan dengan klub papan atas Liga Primer Inggris lain, bisa dicari di mesin pencari situs.
Klopp di musim 2020-2021, semuram dunia yang kini dilanda pandemi. Tanpa dukungan finansial pemilik klub, hingga para pemain andalan yang gantian masuk kamar operasi. Menyembuhkan cedera. Yang paling krusial adalah dua bek tengah, Virgil van Dijk dan Joe Gomes, yang mesti absen hingga akhir musim. Beruntung, ada Nathaniel Philips yang punya bakat alami dan terdidik di Liga Jerman. (baca: Raksasa Baru Liverpool)
***
Shaqiri, akhirnya pulang ke Swiss. Tapi setelahnya, kembali ke Anfield. Bergabung lagi dengan Liverpool FC. Dengan kepala tegak. Tiga gol disarangkannya selama babak kualifikasi grup dan perempat final Euro 2020. Ini adalah prestasi Swiss, prestasi Petkovic, dan prestasi Shaqiri.
Melawan Spanyol, Si Kurcaci Ajaib lah yang menjadi kapten. Memimpin rekan-rekannya menang dan melaju ke semifinal. Gol bunuh diri rekannya, Denis Zakaria, tak menjatuhkan mental para pemain. Justru membuatnya jadi lebih menekan Spanyol. Swiss dengan 10 orang—setelah Remo Freuler, berhasil memaksa Spanyol untuk adu penalti. Sebuah momentum yang untung-untungan.
Dengan penampilan di Euro 2020, nasibnya di Liverpool FC, bisa lebih bagus. Bisa juga tetap masuk daftar jual John W Henry, yang membutuhkan dana segar, demi memberikan untuk Jurgen Klopp meremajakan tim yang sudah bertahan selama empat tahun terakhir.
(YOP)