Thomas Tuchel (baca Tukel dengan e pepet), membelakangi Sean Dykes, waktu bersalaman usai pertandingan antara Chelsea dan Burnley. Gesture (bahasa tubuh) Tuchel di pinggir lapangan memang sudah tak menyenangkan lawan, pasca gol penyerang Burnley, Matej Vydra.
Seperti bek Manchester United yang meremehkan gerakan gelandang Manchester City Bernardo Silva di pertandingan sebelumnya, demikian juga bek Chelsea. Thiago Silva dan Anthony Rudiger, hanya melihat saja gerakan Vydra yang mendapat operan kepala Jay Enrique Rodriguez. Kiper Edouard Mendy pun kaget dengan bola di depan mukanya.
Itu semua kejadian pada menit 79 di Stamford Bridge, kandang Chelsea.
Tak cuma pemain, Tuchel, sang pelatih juga sudah berani meremehkan lawannya di Liga Inggris. “Mereka (Burnley) beruntung bisa mencuri poin di Stamford Bridge. Kami juga beruntung saat di Brentford,” kata Tuchel mengomentari hilangnya tiga poin di kandang.
Pada dua pertandingan sebelumnya, Brentford memang tak beruntung. Di kandangnya, tak ada satupun para pemain Brentford mampu menceploskan bole ke gawang Chelsea. Padahal, mereka bermain lebih baik. Malah Chelsea yang menang, dengan skor 1-0.
Beruntung. Apakah demikian?
Sean Dykes yang punya pakem permainan gaya Inggris, long ball dan body charge serta aerial duel yang apik, akhirnya bisa mendapatkan hasil manis dari usahanya. Dari pola 4-4-2 di babak pertama, diubah menjadi 4-2-3-1 di babak kedua. Dengan Vydra jadi striker tunggal. Di belakangnya persis ada Rodriguez. Kalah di lapangan tengah pada babak pertama, membuat Dykes mengadaptasi 4 pemain tengahnya menjadi lebih bertahan sekaligus menyerang di saat lawan masuk ke sepertiga lapangan Burnley.
Ini siasat Dykes. Membuat para pemain Chelsea terjebak di belakang lapangan pertahanan Burnley. Stamina para pemain Chelsea yang bermain di Liga Champions betul-betul dimanfaatkan Dykes.
Siasat ini bukan tanpa resiko. Karena membiarkan para pemain Chelsea berada di depan sedikit kotak penalti Burnley, sebetulnya bisa jadi malapetaka, bila dua pemain tengah Burnley, tak pintar menutup area. Bisa bertambah gol buat Chelsea.
Tapi, kalah satu atau dua gol, akan sama saja poinnya. Tak ada poin. Dan tiga poin untuk lawan. “Saya paham bila dia (Tuchel) bersikap begitu. Saya juga mungkin akan bersikap sama, bila ada di posisi dia (kehilangan 3 poin). Tapi saya harus melakukan tugas saya,” kata Dykes menanggapi Tuchel kepada wartawan usai pertandingan.
****
Thomas Tuchel sejak menang melawan Manchester City pada Final Liga Champions 2021, melawan pakemnya sendiri. Tuchel menjadi pelatih dengan kemampuan parkir bus yang meniru pendahulunya, Jose Mourinho. Padahal sejak menangani Borusia Dortmund dan Paris Saint German, pakem Tuchel selalu menyerang dan menyerang dengan kecepatan para pemainnya.
Tuchel di Dortmund sebetulnya tak istimewa. Dia baru terlihat istimewa setelah melatih PSG. PSG hampir pasti menang terus. Dan Tuchel membawa PSG ke Final Liga Champions tapi kalah dari Bayern Munchen. Serangan anak asuh Tuchel, lebih bagus saat itu, meski dikurung oleh skema Hans Flick. Itu setelah Tuchel “berguru” prinsip permainan menyerang dari Pep Guardiola. Pep dan Tuchel pertama kali bertemu di restoran di Jerman, pada 2014.
Waktu itu, Pep menjadi pelatih Bayern, dan Tuchel di Mainz. Sejak itu, meski Pep sudah di Inggris menangani Manchester City, Tuchel sering menelpon Pep. Dan sang guru kalah empat kali oleh sang murid. Terakhir di Final Liga Champions 2021. Setelah itu, Pep kembali pada tradisinya, menang dengan pola menyerang. Siapapun lawannya.
Berbeda dengan Tuchel.
Meski bergelimang pemain mahal—mirip Manchester City—sejak menang Liga Champions, Tuchel selalu “tutup toko” kala bertemu lawan yang seimbang atau level taktiknya di atasnya. Juga yang dilakukan ketika melawan City di dua pertandingan. Yakni di Liga Inggris dan Final Liga Champions.
Tapi, kalau melawan tim yang levelnya di bawah Chelsea, Tuchel berpakem menyerang. Kecuali melawan Brenford, saat sudah unggul, Tuchel di babak kedua sudah “tutup toko”.
***
Bukan baru kali ini Tuchel meremehkan lawannya. Saat kalah dari Leicester di Piala FA, Tuchel juga menyebut Chelsea tak beruntung. “Anda harus punya keberuntungan di level permainan ini. Seperti posisi wasit,” kata Tuchel saat itu (lihat Siasat Tuchel).
Christian Pulisic, yang membombardir sisi kanan Burnley pada Sabtu 6 November 2021 malam, juga sesumbar sebelum kalah di Final Piala FA 2021. “Dengan kondisi ini, rasanya kami bisa mengalahkan siapapun saat ini,” kata Pulisic waktu itu (lihat Siasat Tuchel).
Dengan kalah oleh Pep di pertemuan perdana di musim 2021-2022, siasat Tuchel sebetulnya sudah terbaca. Tuchel, tak membiarkan para pemain berkembang. Tak seperti yang dilakukan Pep di City dan Jurgen Klopp di Liverpool. Bahkan Brendan Rodgers di Leicester pun, membuat para pemainnya berkembang.
Kecuali Pep, para pemain Liverpool—kecuali beberapa seperti van Dijk, Alisson Becker, dan Thiago—adalah pemain level medioker sebelum dilatih oleh Klopp. Juga Rodgers yang hanya punya Jamie Vardy, dan Youri Tielemans.
Jangan tanya Pep. Dengan melimpahnya pemilik klub, emir dari Uni Emirat Arab, Shaikh Mansour bin Zayed al Nahyan membanjiri klub dengan uang untuk membeli pemain. Semua pemain jadi ada di City. Dan Pep, membeli dengan observasi tajam, dengan semua pemain terpakai. Bahkan yang ada di bangku cadangan.
Juragan migas asal Rusia, Roman Abramovich juga mengguyur Chelsea dengan dana tak terbatas. Emir asal Qatar juga memberikan dana berlimpah buat Tuchel di PSG. Bila di PSG, dana sesuai hasil, juara di kompetisi domestik nyaris tanpa hasil seri, berbeda dengan di Chelsea.
Tuchel mesti sadar, Liga Inggris bukan Liga Prancis dan Liga Jerman, dengan satu saja yang punya uang bisa “membeli” gelar. PSG di Prancis dan Munchen di Jerman mampu mengontrak pemain-pemain mahal.
Di Inggris, kecepatan, stamina, dan duel, adalah kunci. Lengah sedikit, bisa fatal akibatnya. Jadi bukan sekedar keberuntungan yang membuat sebuah tim non unggulan bisa menahan seri atau malah menang dari tim unggulan. Tapi, sekali lagi, kecepatan, stamina, dan duel. Di sektor-sektor ini, Liga Inggris juaranya.
**
Bola bundar, memang sering jadi ungkapan bila tim yang tak diunggulkan malah bisa menceploskan gawang ke tim unggulan. Bisa menang, bisa seri hasilnya. Atau pernah juga ada ungkapan, permainan bandar judi di sepakbola profesional. Apalagi setelah kasus Calciopoli yang meruntuhkan martabat Liga Italia sebagai liga nomor wahid dunia.
Tapi mesti diingat, Korea Selatan yang menang 2-0 lawan Jerman di Piala Dunia 2018, juga waktu itu sebuah hal aneh sebagian besar fans Jerman. Shin Tae Yong, pelatih Korea Selatan jadi perbincangan, karena skuadnya mampu mengalahkan juara bertahan. Bila tak mampu melihat gambar besar, atau istilah kerennya helicopter view, maka urusan beruntung jadi kata yang lumrah.
Padahal, sejumlah analis sudah wanti-wanti bahwa skuad Jerman tak lagi seimbang, secara kualitas dan pengalaman. Ditinggal striker serba bisa Miroslav Klose, dan penyeimbang di lapangan tengah Bastian Schwensteiger.
Yang tak diingat Tuchel, adalah Sean Dykes mengubah pola permainan. Melihat kelemahan Chelsea. Demikian juga Shin Tae Yong. Melihat kelemahan skuad Loew.
Itulah upaya Dykes. Diterjemahkan dengan gaya permainan Inggris, oleh para pemainnya. Jadi, ya, Tuchel memang sedang kesal. Karena tawa di babak pertama sirna di saat Chelsea yakin tak bakal kehilangan poin. Hanya, sebaiknya, contohlah sang guru, Pep Guardiola atau seniornya, Klopp. Mereka tetap rendah hati. Kalah atau menang, tak meremehkan lawan.
(Yopie)