“To see others suffer does one good, to make others suffer even more so.
This is a hard saying, but a mighty, human, all-too-human principle.” – Friedrich Nietzsche
Tahun 2015, di sebuah laboratorium di Würzburg, Jerman, pada wajah 32 penggemar sepak bola dipasang bantalan elektromiografi. Alat itu mengukur senyum dan kerutan mereka saat menonton tayangan ulang penalti antara Tim Jerman versus Belanda. Dari situ, para psikolog mendapat temuan, bahwa ketika Belanda gagal mencetak gol, senyum fans Jerman lebih lebar, lebih puas daripada ketika tim Jerman mencetak gol sendiri.
Menurut sains, ada sembilan belas jenis senyuman, tapi hanya enam yang mengekspresikan kegembiraan. Meski senyuman schadenfreude dan kegembiraan susah dibedakan, namun satu hal yang pasti, orang lebih puas tersenyum atas kegagalan lawan, daripada atas kesuksesan mereka sendiri.
Schadenfreude
Meski tak ada padanannya dalam bahasa Inggris, kata ini bukan barang baru, bahkan dimiliki sebagai perbendaharaan kata dalam banyak bahasa dari ujung Denmark, Russia, menyeberang ke Yunani dan China, hingga ke Papua Nugini.
Kata schadenfraude berasal dari bahasa Jerman: schaden – rusak/sakit dan freude – kesenangan/kepuasan. Artinya, seseorang merasa puas atau senang melihat atau mendengar orang lain (lawannya) sakit atau menderita. Di Jepang ada peribahasa: kegagalan orang lain rasanya seperti madu. Di Indonesia kata itu setara dengan menari di atas penderitaan orang lain.
Anda bisa mencari banyak contoh dalam kehidupan nyata. Dalam film Hollywood bergenre action, terkadang muncul adegan, ketika musuh menyiksa sahabat atau kerabat di hadapan sang tokoh utama, hanya untuk melihat sang tokoh utama tersiksa. Semakin tersiksa, semakin puas pelakunya. Dalam puncaknya yang paling ekstrem, contoh dari kata ini adalah memenggal kepala panglima perang musuh, lalu menendangnya beramai-ramai, seperti sedang bermain sepakbola, di hadapan para tawanan yang kalah perang.
Meski kadang dirasa aneh, bahwa kegembiraan datang dari penderitaan orang, gejala ini sepertinya semakin jamak dialami dan ditemui oleh banyak orang. Dituangkan dalam bentuk lakon pentas teater, sinetron, film, lirik dan puisi.
Keadaan yang juga akrab dikenal sebagai hipokrisi dalam perilaku sosial ini, dikaitkan oleh para ahli dengan rasa iri dan dengki. Ada perasaan rivalitas di situ. Perasaan rivalitas sebagai akibat perasaan iri dengki ini merupakan manifestasi dari ketidaknyamanan diri.
Manusia punya kecenderungan untuk menjadi yang paling utama, mendapat pujian, fasilitas dan kemudahan. Jika ada yang menyaingi, rasa ketidaknyamanan diri ini muncul. Syndrome ini terkadang muncul dari anak pertama terhadap adiknya. Dari yang biasa mendapat perhatian penuh orang tua, kini perhatian itu tercurah bukan untuk dirinya lagi.
Di masyarakat, jika rasa ini ketidaknyamanan diri ini menjadi jamak, dan konflik diri seperti ini tidak dikelola dengan baik, maka akan berkembang menjadi ketidaknyamanan sosial. Pada gilirannya, ketidaknyamanan sosial akan berbuah menjadi prasangka dan kebencian terhadap sesama. Kebencian dan fobia ini bukan hal alami, tapi diajarkan, disebarkan, dan mendapat pembenarannya.
Nirempati
Manusia lebih sering merasa iba kepada yang lemah daripada pihak yang kuat. Oleh karena itu, jika pihak yang lemah mengalami kejatuhan, kecenderungan orang adalah berempati atau bisa saja, acuh sama sekali. Sementara jika yang mengalami kejatuhan adalah pihak yang kuat, apalagi jika pihak itu adalah kompetitor sarat prestasi, reaksi manusia bukan empati, melainkan timbul kepuasan tersendiri.
Misalnya, jika anda pendukung klub-klub sepakbola besar di Eropa, anda mungkin merasa biasa saja ketika klub seperti Crotone, Norwich City, EIbar, Werder Bremen, atau Dijon terdegradasi ke divisi bawah. Namun, anda akan bersorak kegirangan ketika Liverpool, Inter Milan, Borussia Dortmund, Atletico Madrid, atau Olympique Lyonnais sekadar terlempar dari zona Liga Champions.
Empati anda pada klub kecil yang terdegradasi tadi, tidak muncul pada kejatuhan yang menimpa klub besar pesaing anda. Semakin sarat prestasi rival anda, semakin anda puas melihat kejatuhannya. Salah satu manifestasi schadenfarude adalah absennya rasa empati ini. Kata Simon Baron-Cohen, jika tahap anda bahkan sudah pada menikmati penderitaan rival anda, itu adalah gejala psikopat.
Bentuk pembenaran akan hilangnya empati pada rival adalah dengan melekatkan peristiwa kejatuhan rival itu sebagai hukum karma. Karma akan kesombongan, akan kekayaan, dsb.
Dalam olahraga, schadenfraude juga dikaitkan dengan perasaan tidak percaya diri dan oportunistik. Jadi, jika anda lebih merasa puas klub seteru anda kalah telak, hanya karena klub anda tidak berprestasi, anda mengalami masalah kejiwaan ini. Obatnya hanya satu, anda harus mencoba merasakan kebahagiaan atas prestasi klub anda sendiri. Semua ditentukan oleh diri sendiri, bukan oleh kejatuhan lawan. Dapat dimulai dengan pertanyaan kepada diri sendiri, “Do I feel good when others feel bad?”
“And above all, Schadenfreude is a testament to our capacity for emotional flexibility, as opposed to moral rigidity, and our ability to hold apparently contradictory thoughts and feelings in mind simultaneously,“ kata Tiffany W. Smith.
Joaquim Rohi
RUDN University, Moscow, Russia