Pola bermain sepakbola belakangan semakin seragam. Beraneka gaya bermain mengerucut menjadi satu gaya bermain saja. Semua ingin bermain juego de posicion, _ sepakbola berbasis posisi pemain ala Manchester City. Semua ingin menampilkan “struktur bermain” yang baik, di mana setiap sisi lapangan ada segitiga pemain yang memutar bola sehingga sulit direbut. Di sisi lain semua juga ingin melakukan _pressing agresif di semua lini, terutama di sepertiga akhir, ketika kehilangan bola. Semua juga ingin bermain agresif seperti Liverpool.
Liverpool, pionir gegenpressing di Premier League, sebaliknya mulai sedikit menggeser pola bermain heavy metal super agresif. Klopp meminta pemainnya lebih sabar, tidak terburu-buru ke kotak pinalti jika posisi bek lawan belum mengizinkan untuk serangan mematikan. Risiko terburu-buru memasuki kotak pinalti adalah bola direbut lawan dan lawan segera melakukan serangan balik.
Manchester City, sebaliknya, seperti terlihat di pertandingan lawan West Ham semalam, bermain lebih agresif. Pola operan “tapal kuda” lebih jarang terlihat. Dengan adanya Haaland sebagai striker murni (bukan false nine), Pep memerintahkan pemainnya bermain lebih direct. Bola dibawa secepat mungkin dari wilayah pertahanan ke sayap kiri kanan, kemudian umpan ke Haaland di tengah.
Arsenal? Arsenal pun begitu. Seperti kata Jamie Carragher, di pertandingan pertama antara Crystal Palace lawan Arsenal, di babak pertama dia seperti melihat Liverpool atau Manchester City bermain. Dengan kata lain, pola bermain ketiga tim semakin mirip.
Tapi ada satu pembeda antara Arsenal yang diisi pemain muda dan City/Liverpool yang pemainnya lebih senior. Pengamat bola sering menggunakan kata dari Bahasa Spanyol: calma.
Calma, dalam Bahasa Inggris diterjemahkan sebagai composure, ketenangan seorang pemain mengevaluasi sekitarnya sebelum memutuskan mengoper atau menggiring bola. Pemain senior umumnya memiliki calma ini. Dalam keadaan tertekan atau terburu-buru menuju kotak pinalti, pemain senior tidak langsung bertindak setelah menerima bola. Ada jeda setengah detik yang kadang-kadang tidak dirasakan penonton. Dalam setengah detik itu dia melihat sekeliling, menunggu semua pemain (lawan atau tim sendiri) yang tengah bergerak sampai ke posisi yang paling menguntungkan. Baru dia mengoper.
Bandingkan dengan pemain muda. Pemain muda akan segera melepaskan bola (atau berusaha menggocek) begitu bola sampai ke kakinya. Mereka tidak ingin diomeli pelatih karena kelamaan menahan bola. Ada perbedaan sangat tipis antara calma yang menunggu dengan tenang dan kondisi kebingungan. Keduanya sama-sama jeda antara waktu menerima bola dan bertindak.
Kalau sekarang ada pembeda antara Arsenal dan Liverpool/City, maka pembeda itu adalah calma. Pemain City/Liverpool ketika melakukan jeda, kemungkinan besar adalah calma. Sebaliknya, ketika ada jeda bola di kaki Martinelli, Martinelli tidak mau diomeli Arteta kalau terlalu lama kebingungan. Solusinya? Setelah menerima bola dia langsung menggiring atau mengoper tanpa memeriksa situasi sekitar. Ini yang menyebabkan, dibanding Liverpool/City, walaupun gayanya sama, Arsenal terkesan “mentah” dan terburu-buru.
Penulis adalah pemerhati Liga Inggris