Galatama merupakan liga semiprofesional yang diharapkan bisa menjadi cikal bakal liga profesional di Indonesia. Sebelum ada Galatama, Indonesia sebenarnya sudah memiliki kompetisi lain dengan skala nasional, namun masih bersifat amatir. Liga amatir itu dikenal dengan nama Perserikatan.
Galatama lahir pada 1979. Ketika itu, ketua umum PSSI adalah Ali Sadikin. Ia menjabat pada tahun 1978-1981. Ketika digulirkan pada tahun perdana, Galatama baru diikuti oleh delapan klub. Dalam perjalanannya, klub yang mengikuti Galatama terus bertambah. Hal tersebut memungkinkan Galatama diselenggarakan dengan pembagian dua divisi, yakni Divisi Utama dan Divisi Satu. Sayangnya, kompetisi Galatama dengan dua divisi hanya berlangsung pada tahun 1983 dan 1990. Hal tersebut menjadi indikator bahwa tidak ada konsistensi dari para pengelola kompetisi.
Nah, ternyata ada loh orang-orang yang saat Galatama bergulir, mereka ngefans berat dengan salah satu klub dan sampai sekarang tidak bisa ke lain hati. Salah satunya seorang advokat yang bernama Ivan Garda, dirinya adalah fans berat dari klub Bandung Raya.
“Waktu era galatama, sebagai tim medioker Bandung Raya sempat memunculkan topskore Dadang Kurnia, mirip kemunculan Igor Protti yang muncul jadi top skore dari tim medioker Bari di Italia. Tim ini adalah tim dramatis roller coster, ketika akan bubar tahun 90an justru rebound menjadi tim dongeng mengumpulkan pemain-pemain berkualitas yang terbuang dari tim-tim galatama bahkan Persib. Mereka dikonsolidasi oleh pak Tri Gustoro dan IGK Manila lalu membentuk tim yang atraktif. Luar biasa tercipta derby tim bandung yang panas, melawan Persib dan juga Persikab. Bagi saya bandung raya adalah tim dongeng walau berakhir dengan dongeng tragika. Benar-benar tragika sepakbola Indonesia.” Ujarnya.

Ivan yang mengidolakan Dadang Kurnia, Budiman, Peri Sandria dan Dejan Glusevic menilai klub-klub yang tergabung dalam Galatama adalah klub swasta yg tidak tergantung dengan pemerintah dengan berbagai intrik politiknya. “saya merasa orang Indonesia memang memiliki mental pegawai negeri sehingga lebih suka tim dengan genetik perserikatan yg dinaungi APBD. Galatama juga dirasa lebih independen namun dirasakan juga persaingan yg tidak sehat antara perserikatan dan galatama. Hal itu sangat terasa ketika dua tim yg berbeda genetik ini bertemu. Saya ingat sangat mencolok ketika derby Bandung Raya dan Persib bertemu, Ajat Sudrajat harus head to head dipinggir lapangan dgn walikota yg tidak populer saat itu Wahyu Hamijaya. Apa urusannya pejabat dipinggir lapangan? Terasa sekali konsolidasi politik untuk mengganggu Bandung Raya. Saya yang duduk sbg penonton bisa merasakan”.
Dirinya mengaku hingga saat ini tidak menemukan lagi klub yang bisa menggantikan Bandung Raya dihatinya Karena sudah terlanjur mencintainya.
Selain Ivan Garda, Ketua Umum Paguyuban Suporter Timnas Indonesia (PSTI) Ignatius Indro ternyata juga tidak bisa pindah dari klub yang sejak kecil diidolakan yakni Indonesia Muda. “Waktu kecil, meski tidak lolos jadi anak gawang Indonesia Muda, saya selalu mendengarkan setiap pertandingan mereka di radio. Dan melihat cuplikannya di TV. Bahkan kalau kalah saya bisa menangis hahaha”. Ujarnya sambil tertawa.

Indro yang mengidolakan Hadi Ismanto dan Dede Sulaiman ini, begitu menikmati kompetisi Galatama karena begitu seru dan persainganya cukup menegangkan. “Galatama dulu seru banget, kalau saya nonton di stadion, saya selalu membawa radio, karena penyiar radio menambah seru suasana. Kejar-kejaran poin juga ketat, ada Niac Mitra, Warna Agung, Pardedetex Medan, Arseto sangat bersaing hingga akhir.” Kenang Indro.
Indro juga merasa tidak menemukan klub pengganti setelah Indonesia Muda tidak ada lagi.
Beda Galatama dengan Perserikatan
Ketika Galatama mulai bergulir, bukan berarti Perserikatan berakhir. Kompetisi Perserikatan tetap berjalan seperti sebelumnya. Kedua kompetisi tersebut bisa berjalan beriringan karena memang tidak saling berkaitan, khususnya dalam hal pengelolaan klub dan kompetisi.
Klub yang berlaga di Perserikatan merupakan klub daerah yang menjadi muara dari klub-klub anggotanya tersebut. Karena sifatnya amatir, maka klub-klub peserta Perserikatan masih diperkenankan untuk memperoleh subsidi dari Anggaran Penerimaan dan Pendapatan Daerah (APBD).
Sementara itu, Galatama beranggotakan klub-klub baru yang pendanaannya ditopang oleh perusahaan swasta, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), serta cukong-cukong maniak sepak bola. Jika semangat Galatama adalah untuk menjadi liga profesional, maka Perserikatan lebih mengedepankan pembinaan pemain dengan identitas kedaerahan (primordialisme) yang menjadi bahan bakarnya. Meski tampak akur, klub-klub Perserikatan ditengarai sempat merasa cemburu lantaran ada kesan jika PSSI lebih memerhatikan klub-klub Galatama ketimbang klub-klub Perserikatan.
Namun setelah adanya kebijakan PSSI yang melarang pemain asing bermain di Galatama, perlahan tapi pasti, penonton mulai enggan datang ke stadion dan beberapa klub terpaksa gulung tikar. Liga ini akhirnya tinggal nama ketika federasi memutuskan untuk menggabungkan Galatama dengan Perserikatan menjadi Liga Indonesia sejak tahun 1994.
(IND)