Liverpool meraih piala pertamanya dalam upaya meraih kemungkinan 4 trofi musim ini: Carabao Cup. Masih ada tiga trofi yang dikejar pasukan pinggir Kali Mersey ini yaitu Liga Champions, Liga Inggris, dan Piala FA.
Orang sini sering memplesetkan Carabao Cup dengan Piala Kerbau. Ini sebenarnya kompetisi untuk memberi ruang pemain-pemain muda untuk punya jam merumput lebih lama. Tapi dalam final Carabao Cup kali ini, dua finalis –Liverpool dan Chelsea— menurunkan skuad intinya di babak final. Kecuali Caohimin Kelleher yang tetap dipasang Juergen Klopp sebagai starter.
Chelsea menurunkan skuad inti yang menjadi jangkar dari Premier League, termasuk kiper Edouard Mendy, yang baru saja memenangi Piala Afrika bersama Sadio Mane, andalannya Liverpool.
Drama sepanjang 90 menit ditambah 30 menit sudah selesai dibahas. Tidak usah kita mengulasnya berulang-ulang. Gol-gol yang dianulir, juga sudah banyak diulas media dan pengamat bola. Dari pengamat seriusan sampai dengan yang abal-abal. Dari yang lucu sampai yang ngeselin.
Yang menarik justru ulasan tentang adu penaltinya. Ini adalah adu penalti tergila dalam sejarah final kompetisi bola di Liga Inggris. Tos-tosan terpanjang. Klopp mengaku, ”Ini adalah adu penalti paling spektakuler yg pernah gue liat.”
Sebelumnya, Liverpool juga pernah melakoni adu penalti yang lebih panjang ketika melawan Middlesborough pada ajang yang sama –dulu disebut Piala Liga— di tahun 2014. Sebanyak 15 tendangan penalti dihelat, yang artinya, setelah drama skor imbang sampai semua pemain harus menendang, diulanglah penendangan sampai terjadi selisih gol. Skornya waktu itu 14-13 dalam adu penalti, sehingga skor akhir pertandingan putaran ketiga itu dimenangi Liverpool dengan 16-15, karena dalam waktu normal dan waktu perpanjangan skornya 2-2.
Bagaimana Liverpool mengatasi tekanan psikologis adu penalti dalam suatu panggung bola yang disaksikan oleh lebih dari 85 ribu penonton? Saya menemukan jawabnya dalam ulasan situs bola berbayar The Athletic, dan di situ saya menemukan jawaban menarik: NEUROSAINS.
Rupanya, Liverpool menggunakan pendekatan atau analisis neurosains untuk menghadapi tekanan psikologis yang tercipta dalam atmosfer pertandingan, dan terutama adu penalti. Klopp berhasil diyakinkan oleh suatu lembaga neurosains asal Jerman NEURO11 tentang pentingnya peran neurosains dalam sepakbola dan meningkatkan performa pemain.
Singkat kata singkat cerita, Liverpool dan Neuro11 pun memulai kerja sama mereka sejak latihan pramusim di Perancis musim panas 2021 lalu.
Adalah Dr. Niklas Hausler dan Patrick Hantschke yang berhasil menemukan suatu metode untuk membantu para pemain meningkatkan keakuratan dalam permainan melalui pendekatan analisis mental, sehingga setiap pemain dapat mencapai kondisi mental tertentu yang paling optimum pada saat situasi di lapangan memerlukannya.
Cara membaca pikiran pemain adalah dengan menempatkan kabel-kabel yang diberi elektroda pada kepala sang pemain, sehingga perangkat komputer dapat membaca data di dalam pikiran, mengumpulkannya, menganalisisnya, dan menghasilkan suatu gambaran kondisi psikologis/mental.
Untuk merekam data lebih banyak, pemain dijejali dengan simulasi tendangan penalti yang masif, yang bisa memberikan gambaran paling dekat dengan situasi yang sesungguhnya. Saya membayangkan, dalam simulasi ini, suara-suara penonton disimulasikan mirip dengan kondisi stadion, tekanan mental juga dibuat semirip mungkin, sehingga setiap pemain mampu mengeluarkan “data lebih banyak” untuk dibaca dan dianalisis.
Rupanya, cara ini pula yang membantu Liverpool mendapatkan gol lebih banyak dari situasi atau kondisi bola mati. Baik tendangan bebas maupun tendangan penjuru, Liverpool adalah klub yang memanen gol paling banyak daripada klub lain di Liga Inggris. Itu pula yang membuat Liverpool mampu mencetak dua gol di kandang lawan Inter Milan pada Liga Champions, yang dua-duanya dihasilkan dari bola mati: Tendangan penjuru Trent yang disundul Liverpool, dan tendangan bebas Trent ke kotak penalti yang kemudian menimbulkan kemelut di kotak penalti dan berujung gol Mohammed Salah.
Kepada The Athletic, Hausler bercerita bagaimana metode yang mereka kembangkan membantu para pemain Liverpool mengontrol pikiran mereka, terutama ketika mengalami tekanan ataupun kelelahan. “Saban manusia tuh punya kondisi otak tertentu. Kadang-kadang merasa nyantai, lain waktu merasa teragitasi atau terprovokasi sehingga mereka berada dalam kondisi kurang optimal,” begitu kata Hausler.
Nah, Hausler dan timnya dari Neuro11 ini membantu anak-anak Klopp untuk mengalibrasi dan menyetel ulang kondisi pikiran mereka, sehingga setiap pemain memiliki perangkat mental yang dibutuhkan dalam setiap situasi, dan membuat mereka tetap fokus dan tidak mengalami disorientasi.
“Lu emang gak bisa menciptakan ulang kondisi yang nyata dari sebuah tekanan dalam pertandingan. Tapi kita bisa memberikan instrumen kepada pemain untuk bersiap-siap ketika mengalami kondisi aktual tersebut, sehingga mereka dapat mengatasi semua gangguan di sekelilingnya, dan lu jadi tahu apa yang harus lu lakuin untuk bikin gol,” gitu kata Hausler.
Nah, yang lucu gini. Dengan bantuan Neuro11, Liverpool berlatih dan menyimulasikan tendangan penalti dalam menghadapi final di Wembley Stadium yang megah itu. Nah, Neuro11 menyodorkan kepada Klopp urutan pemain dengan kondisi mental paling tangguh menghadapi penalti beserta kuncian-kunciannya. Masalahnya, Neuro11 cuma menyodorkan 7 nama, karena biasanya adu penalti juga nggak bakalan semua pemain nendang.
Makanya, setelah Diogo Jota dan Divock Origi nendang, yang tersisa tinggal empat pemain: Elliot, Robertson, Konate, dan Kelleher –sang kiper. Mana dulu nih yang harus nendang. Akhirnya, urutannya dalah Robertson, Elliott, Konate, baru Kelleher.
Kita bisa membayangkan, Elliott, yang ketika final umurnya baru 18 tahun 329 hari, mesti menerima tekanan mental sedemikian berat dalam atmosfer final itu. Bahkan dia bisa main pun gara-gara Thiago Alcantara mengalami cedera otot hamstring pas pemanasan. Sepertinya dia kurang pemanasan pas pemanasan. Gara-gara cedera kejutan itu, Keita yang tadinya ada di bangku cadangan harus main sejak menit pertama, dan Elliott yang tidak ada dalam daftar jadinya keangkut sebagai pemain cadangan.
Begitu pula Kelleher. Anak ini adalah kiper termuda yang pernah bermain dalam kompetisi final Piala Liga Inggris. Mentalnya juga masih belum sekokoh kiper bangkotan.
Nah, jika Liverpool menggunakan pendekatan neurosains dalam menghadapi final, Chelsea menggunakan pendekatan berulang dalam mengatasi penalti. Waktu final antarklub Eropa, Chelsea sebagai juara Liga Champions menghadapi Sevilla yang juara Liga Eropa. Pertandingan memasuki babak akhir perpanjangan waktu, dan Thomas Tuchel –mantan asisten Klopp waktu di Borussia Dortmund— menginstal Kepa Arizabalaga menggantikan Mendy beberapa detik sebelum peluit ditiup wasit.
Dalam adu penalti melawan Sevilla, Kepa menjadi pahlawan dan Chelsea menjadi juara. Dengan status mentereng dan pengalaman menjadi pahlawan melawan Sevilla, Kepa sebagai penendang terakhir Chelsea yang masih tersisa, menendang bola menuding ke langit-langit stadion, meninggalkan jala yang dijaga Kelleher.
Dalam final Carabao Cup Chelsea versus Liverpool, pendekatan neurosains yang digunakan Klopp terlihat lebih manjur ketimbang pendekatan success story yang digunakan Tuchels.