Pertanyaan yang paling biasa kita dengar terkait tim nasional adalah “kapan bisa berprestasi di kancah internasional baik di Olimpiade atau Piala Dunia?” Ya pertanyaan itu sering kali terucap ditengah masyarakat kita. Kerinduan akan prestasi sepak bola ini sangatlah wajar karena olahraga ini adalah olahraga yang paling dicintai di Indonesia, namun bicara prestasi tampaknya kita hanya bisa mengelus dada.
Telah lama kita menantikan prestasi, bahkan di Asia Tenggarapun kita selalu gagal menjadi juara di Piala AFF. Peringkat FIFA saat ini kita bercokol di posisi 173, jauh dibawah Negara-negara tetangga seperti Vietnam, Thailand, Singapura bahkan Filipina yang tidak punya tradisi sepak bolanya. Indonesia hanya satu peringkat diatas Kamboja. Miris!
Pembahasan mengenai prestasi sepak bola Indonesia ini juga dibicarakan dalam diskusi virtual dengan tema “Kapan Sepakbola Indonesia Mendominasi Olimpiade?” yang diadakan oleh FEM Station beberapa waktu lalu yang menghadirkan Presiden Madura United, Achsanul Qosasi, dan Dosen FEM IPB, Pemerhati Sepakbola, Muhammad Findi sebagai pembicara.
Achsanul Qosasi mengatakan yang menjadi permasalahan utama dari sepak bola Indonesia adalah tidak adanya sistem yang berkelanjutan dari usia muda hingga ketingkat senior. Ditingkatan junior seharusnya PSSI sebagai federasi mengambil tanggung jawab untuk pengadaan kompetisi, karena klub belum mampu untuk mengadakan itu. “Selama ini memang ada pihak swasta yang mengadakan kompetisi, seperti Liga Kompas, Liga Top Skor dan yang lainnya, namun itu tidak cukup. Seharusnya PSSI memasukan kompetisi itu dalam agenda kerjanya sehingga masuk kedalam sistem.” Ujarnya.
“Saya contohkan, ketika kita punya program Primavera dulu, Kurniawan Dwi Yulianto memiliki rapor yang lebih bagus dari Del Piero saat masih muda, sayangnya ketika kembali ke Indonesia, rapor bagus tersebut seolah-olah tidak ada artinya karena memang kita tidak memiliki sistem kompetisi yang baik. Saying kalau memang secara bibit dan potensi kita memiliki kualitas yang memadai tapi karena tidak adanya kompetisi yang baik, bibit tersebut tidak bisa berkembang.” Kata pemilik klub yang biasa dipanggil AQ tersebut.
Sementara itu pemerhati sepak bola IPB, Muhammad Findi mengatakan yang juga menjadi masalah adalah begitu kuatnya mafia sepak bola yang dimulai sejak tahun 70an dan ini harus segera diakhiri. “Dimulai dengan peristiwa yang dikenal dengan ‘Malapetaka Senayan 1976’, saat kualifikasi Olimpiade Montreal. Disana kuat sekali indikasi terjadinya suap, sayang federasi tidak melakukan sebuah investigasi. Berlanjut dengan tahun 19 untuk Olimpiade Seoul, 4 pemain Pelita Jaya mengakui adanya mafia suap. Hal-hal tersebut sangat mengganggu perkembangan sepak bola kita hingga saat ini.” Ujar Findi.
Road Map sepak bola Indonesia dan Inpres Percepatan Pembangunan Sepak Bola
Achsanul Qosasi menilai saat ini jabatan Ketua Umum PSSI dipakai sebagai batu loncatan politik seseorang, dan parahnya ketika menjabat di PSSI tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk sepak bola Indonesia, hanya membawa dendam kepada pengurus sebelumnya sehingga tidak ada program yang berkelanjutan. “Perubahan kepemimpinan dari mulai Nurdin Halid ke Johar Arifin hingga saat ini, tidak ada road map yang jelas, yang ada hanya perubahan program di setiap kepengurusan. Sehingga tidak adanya program yang berkesinambungan. Road Map harusnya terbuka, minimal bisa dilihat oleh seluruh stakeholder sepak bola.” Ujar AQ.
Ia menambahkan Presiden Joko Widodo begitu peduli dengan sepak bola hingga mengeluarkan Inpres Percepatan Pembangunan Sepak Bola Indonesia yang menugaskan 12 kementerian terlibat didalamnya, dan selanjutnya diimplementasikan dalam sebuah blueprint sepak bola, yang seharusnya sudah dijalankan. “Dalam Inpres Nomor 3 tahun 2019, sudah jelas tugas masing-masing kementerian dalam membangun sepak bola. Termasuk didalamnya penggunaan sport science. Untuk itu seharusnya PSSI sebagai federasi sebagi ujung tombak, mampu bertindak sebagai motor penggeraknya.” Katanya.
(DRO)