Saya merasa mendapat kehormatan ketika sahabat saya, Obed Bima Wicandra, seorang kandidat doktor Kajian Budaya, meminta untuk menulis back cover review untuk buku terbarunya: Klopp Time, Kutipan-Kutipan Jurgen Klopp 2015-2020. Ini tak sekadar sebuah buku, tapi juga sebuah catatan sejarah.
Obed mengumpulkan dengan tekun, kepingan-kepingan pernyataan Klopp saat pria Jerman itu menjadi pelatih Liverpool sejak 8 Oktober 2015, menjalani musim demi musim di Liga: berakhir di peringkat ke-8 (2015/2016), peringkat ke-4 (2016/2017), peringkat ke-3 (2017/2018), runner-up (2018/2019) dan juara (2019/2020). Termasuk saat menjadi finalis Liga Champions (2018), dan Juara Liga Champions Eropa (2019). Kumpulan kata-kata bak mantra terpilih dengan tampilan desain visual berkelas menjadi kekuatan utama buku setebal 230 halaman ini.
Jurgen Klopp memang fenomenal. Sebagaimana Jose Mourinho, dia tak punya track nama besar sebagai pemain tim nasional. Beda dengan tiga negara semifinalis Piala Eropa yang diarsiteki mantan jagoan di masanya: Luis Enrique di Spanyol, Roberto Mancini di Italia dan Gareth Southgate di Inggris. Meski tak sehebat nama-nama itu, Klopp pensiun dalam karirnya sebagai pemain dengan menyandang rekor pencetak gol terbanyak dalam sejarah Mainz 05: 56 gol.
Persamaan lainnya dengan Mourinho: ia ahli sihir kata-kata. Pelatih cum motivator ulung. Bedanya, Mourinho dikenal sebagai ‘The Special One’, Klopp menolak julukan itu sejak hari pertama bekerja di Inggris. Ia memilih menjadi ‘The Normal One’.
“Saya adalah orang normal. Namun Liverpool bukanlah klub yang normal, ini adalah klub yang spesial,” kata Klopp dalam jumpa pers pertama, perkenalannya sebagai manajer Liverpool, 8 Oktober 2015.
Liverpool memang dikenal sebagai tim yang selalu memberi ‘shocking’, kejutan besar bagi fansnya. Di era Rafa Benitez, kemenangan dramatis atas AC Milan di final Liga Champions 2005 membuktikannya. Tertinggal 0-3, balas jadi 3-3 dan unggul di adu penalti.
Di masa Klopp, momen besar terjadi kala menyingkirkan Borussia Dortmund, sang mantan Klopp, di perempatfinal Liga Eropa 2016 dan Barcelona di semifinal Liga Champions 2019. Tak hanya itu, di berbagai pertandingan Liga, kejar-mengejar skor kerap berlangsung. Menunjukkan etos kerja tak kenal menyerah demi berburu angka.
“Kita harus menciptakan sesuatu yang bisa kita ceritakan kepada anak cucu kita kelak,” kata Klopp di jeda antar babak saat Liverpool menjamu Dortmund dalam partai yang berakhir 4-3 di Anfield. Sebelumnya, mereka bermain imbang 1-1 di Jerman,
Di Anfield, gol cepat Henrikh Mkhitaryan dan Pierre Aubameyang pada 9 menit pertama pertandingan seolah meruntuhkan dunia bagi Liverpool. Tiga menit babak kedua, Divock Origi memperkecil kedudukan 1-2. Lalu Marco Reus memperlebar lagi jadi 1-3 di menit ke-57.
Di sisa waktu itulah, tiga gol ajaib Liverpool lahir. Dari Phil Coutinho, Mamadou Sakho dan Dejan Lovren pada 90+1. Seandainya masih imbang 3-3 pun, Liverpool akan tersingkir.
Pun demikian atas kisah ajaib mengandaskan Barcelona 4-0 di Anfield, membalas kekalahan 0-3 di Nou Camp pada semifinal Liga Champions 2019 yang menjadi jalan diraihnya piala si kuping lebar untuk kali keenam.
“Boys, Boys, Boys! Kita bukan tim terbaik di dunia. Sekarang kamu tahu itu. Mungkin mereka tim terbaik, tetapi siapa yang peduli? Siapa yang peduli! Kita bisa mengalahkan tim terbaik di dunia, ayo kita mulai lagi!” Itulah api motivasi Jurgen Klopp saat Mo Salah dkk tertunduk lesu akibat gol Luis Suarez dan Lionel Messi di leg pertama semifinal Liga Champions, 1 Mei 2019. Selanjutnya adalah sejarah.
Pada akhirnya, sepak bola merepresentasikan kehidupan. Kita tak boleh mudah menyerah. Meski sekilas kekalahan besar itu di depan mata. Apa yang ada di pikiranmu, itulah yang akan terjadi. Menerima nasib kalah, Anda akan nestapa. Mencoba bangkit dari keterpurukan, Anda akan juara. Jurgen Klopp dan mantra-mantranya memang tak selalu berhasil. Buktinya, Liverpool tak bisa juara tiap tahun.
Tapi, dari game demi game yang dia pimpin, sebagaimana kita melakoni setiap pertarungan kehidupan dari hari ke hari, optimisme mengajarkan: yang percaya akan jadi pemenang. Yang peragu akan jadi pecundang. Dalam pekerjaan, cinta, keluarga, dan juga melawan wabah.
(Jo)