Kesempatan ketiga Mancini. Ditemukan takdir kembali bertemu Arrigo Sacchi yang dibentaknya.
Bak anak-anak enam orang berusia di atas 55 tahun itu berpelukan. Erat. Sambil melompat-lompat. Di pinggir lapangan Stadion Wembley, London, Inggris, 12 Juli 2021. Persis hari Minggu pekan lalu. Roberto Mancini, Gianluca Vialli, Atillio Lombardo, Giulio Nuciari, Fausto Salsano, dan Alberico Evani. Keenamnya adalah para pemain Sampdoria era 1990an. Dan lima dari mereka, kecuali Evani, adalah penggawa Sampdoria saat juara Serie A 1990-1991.
Gembira betul mereka, bisa mengantarkan Italia jadi Juara Euro 2020. Penguasa tahta Eropa. Ini puncak dahaga mereka, Italia, setelah Juara Dunia 2006. Dan semua pemain senior yang mengantarkan Italia juara, tak lagi bersisa.
Buat Mancini, ini adalah kelahirannya kembali buat Italia. Setelah menyesali keputusannya selama 25 tahun. Waktu itu, di Stadion Gottlieb Daimler, Jerman, Maret, menjelang Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat yang dihelat pada Juni, ada pertandingan persahabatan Italia melawan Jerman.
Arrigo Sacchi menariknya saat turun minum. Menggantinya dengan Gianfranco Zola. Zola adalah pujaan rakyat Italia, putra pribumi Sardinia, yang lincah dan simpatik. Zola, jadi idola setelah menggantikan Diego Maradona di Napoli. Nomor punggung 10 Maradona juga diwariskan kepadanya.
Di Malpensa, Milan, Italia, Mancini menunjuk-nunjuk Sacchi. “Anda tidak menepati janji. Anda bilang saya main 90 menit. Saya tak akan membela tim Italia lagi. Sudah selesai,” kata Carlo Anceloti, staf Sacchi. Mancini menyemprot Sacchi saat sedang sama-sama menunggu bagasi.
Dan benar, masih dikuasai emosi, Mancini yang mangkel, mengumumkan tak lagi akan membela tim nasional Italia. Waktu itu, usianya masih 29 tahun. Piala Dunia 1994 yang sudah di depan mata, tak menyertakannya dalam laga Italia. Tak ada yang mempedulikan keputusannya pensiun. Waktu itu, Roberto Baggio, Salvatore Toto Schillachi lebih menarik daripada Mancini. Kendati dia mencetak 156 gol selama berkarir di Serie A.
“Saya menyesal. Sungguh absurd (keputusan) saat itu,” ujarnya mengenang keputusannya. “Siapa tahu, saat itu (Piala Dunia 1994) banyak pemain cedera, dan tak fit, saya bisa bermain. Menggantikan (Roberto) Baggio yang tak fit di Final (melawan Brasil).”
Tapi nasi sudah jadi bubur.
Itu sebetulnya kesempatan kedua Mancini membela tim nasional Italia di ajang dunia.
***
Di usia 19 tahun, Mancini sudah dibawa pelatih menjadi penggawa tim Itali. Bersama senior-seniornya untuk Piala Dunia 1986. Tapi lagi-lagi, di pertandingan persahabatan kisahnya berakhir. Mancini bikin ulah. Dia begadang. Keluyuran malam sebelum pertandingan. Pada 1984. Dia ke Studio 54, mengagumi keriuhan malam, melihat Al Pacino dan Karl Lagerfield bersama para selebritas lain. Ya, ini di New York, Amerika Serikat, akhir Mei. Waktu itu, Italia akan bertanding melawan Amerika Serikat yang masih merangkak untuk industri sepakbolanya. Jam 5 pagi, dia baru kembali ke hotel.
Sekitar jam 7 pagi, Ezio Bearzot, pelatih Italia memanggilnya untuk sarapan bersama di hotel tempat tim menginap. “Dia memarahi saya. Dia khawatir, dan dia tidak tidur menunggu saya. Dia bilang, tak akan memanggil saya lagi (untuk masuk tim nasional). Bahkan bila saya mencetak 40 gol di Liga (Serie A),” kata Mancini kepada kolumnis sepakbola terkemuka, Paolo Condo.
Setelah peristiwa itu, nama Mancini dicoret. Tapi prestasi Mancini meroket di Serie A.
Bertahun-tahun kemudian, keduanya kembali bertemu. Mancini memberanikan diri bertanya. “Apakah Anda masih marah? Anda memenuhi janji Anda, tak memanggil saya lagi.” Tak disangka Bearzot mengatakan,”Saya ingin memanggilmu lagi. Kamu pemain bagus. Tapi tanpa permintaan maaf, saya tak bisa memanggilmu. Tak baik buat tim (bila ada satu atau sekelompok yang diperlakukan khusus).” Mancini pun menghela nafas, mendengar jawaban Bearzot. “Saya sungguh menyesal.”
****
Arrigo Sacchi punya tugas berat. Mereformasi sepakbola Italia. Tapi dia senang. Tantangan Presiden Federasi Sepakbola Italia, FIGC, Giancarlo Abete diterimanya. Usai prestasi Italia terpuruk di Piala Dunia 2010.
Direktur Tehnik FIGC, Demetrio Albertini—salah satu bintang AC Milan periode 1990an—yang membawa Sacchi. Albertini juga membawa Maurizio Viscidi. Tak banyak yang mengenalnya. Dia adalah ahli statistik yang gemar permainan menyerang. Bukan bertahan, seperti DNA Italia selama ini. Cattenacio—pertahanan gerendel—, yang menumpuk pemain di daerah pertahanan, lahir di Italia.
Viscidi membawa Antonio Gagliardi, yang bekerja untuk Opta. Bagi penggila bola, pasti kenal Opta. Penyedia statistik permainan dan pemain dari Italia. Viscidi dan Gagliardi berasal dari satu kota yang sama. Bassano del Grappa. Tempat yang sama perusahaan SIGC, yang produknya Opta kini dikenal dunia. Sports science dimulai di sini.
Bersama Sacchi, Viscidi membuat kurikulum buat para pemain yunior, di bawah 15 tahun. Singkatannya CARP. Yakni Costruzione (build up—membangun serangan), Ampiezza (menguasai lebar lapangan), Rifinitura (menguasai lapangan di antara daerah lawan), Profondita (menguasai bagian belakang lapangan lawan). Hasilnya, setelah dua tahun diterapkan, adalah runner up Piala Eropa U-17 pada 2013, lalu Piala Eropa U-21. Para pemainnya, adalah Cirro Immobile, Lorenzo Insigne, Marco Verratti.
Sacchi, setelah membesut Italia U-21 mengundurkan diri. Memberikan keleluasaan buat Viscidi dan Gagliardi.
Dan dimulailah revolusi menyeluruh. Konsep Viscidi dan Gagliardi, adalah bukan pada pemain berbakat. Meski Verratti dan Insigne sudah menarik perhatian. “Yang penting adalah setiap pemain memainkan fungsinya. Dia mesti sadar fungsinya buat tim. Bakat pemain bisa belakangan,” kata Gagliardi. Yang dibenarkan Viscidi.
Gagliardi menambahkan. “Permainan sepakbola adalah bagaimana Anda menguasai bola dan wilayah lawan Anda. Kalau Anda tidak sadar wilayah lawan Anda dan tidak bisa menguasainya, jangan harap bisa unggul.”
Secara sadar, Italia bergerak meninggalkan DNA nya, pertahanan gerendel. “Saya selalu percaya, Italia mesti meninggalkan kebiasaan lamanya, (yakni bertahan),” kata Sacchi, sebelum mengundurkan diri dan membuktikan metodenya berhasil pada para pemain yunior. Dua orang kepercayaannya, Viscidi dan Gagliardi punya prinsip yang sama.
**
2018, suatu hari di kedai kopi, Wakil Presiden FIGC, Alessandro Costacurta kesal betul melihat tayangan ulang Swedia melawan Italia di leg kedua kualifikasi Piala Dunia 2018. Itu terjadi pada 14 November 2017. “Menyakitkan sekali,” katanya kepada Mancini. Costacurta mengulas kembali pertandingan itu, bersama Mancini. Ditemani segelas kopi. “Bagaimana bisa, (Andrea) Belotti dan (Cirro) Immobile (keduanya penyerang Itali), bisa ada di daerah pertahanan Italia? Pasti ini sudah mengundang Swedia mengurung pertahanan Italia.” Billy—panggilan Costacurta, salah satu bek legendaris AC Milan dan Italia—kembali mengomel. Setelah menikmati kopinya, Costacurta berkata,”Dengar, saya mau Italia yang menekan lawan di daerah pertahanan lawan. Dan mengejar bola kala lepas dari penguasaan.”
Setelah meneguk habis kopinya, Mancini tersenyum. “Kamu datang ke orang yang tepat,” kata Mancini, sambil tetap tersenyum. Mancini dan Costacurta bukan orang asing. Keduanya saling kenal, kala jadi lawan bagi klub masing-masing. Mancini, waktu itu, masih menangani klub kaya Rusia, Zenit Saint Petersburg.
Mancini dilirik, karena sukses dengan filosofi sepakbola menyerang yang mengantarkan Manchester City, juara Liga Inggris 2011-2012. Ini gelar setelah 45 tahun penantian. Sebelumnya, di Inter Milan, Mancini membawa klub biru putih itu juara Serie A 2005-2007. Kecuali Zenit yang ditinggalnya sebelum meraih gelar juara, Mancini juga sudah berhasil memoles Fiorentina, Lazio, dan Galatasaray.
Gaya bermain flamboyan namun menekan—yang disebut kemudian sebagai Tiki Italia, meminjam istilah tiki taka Spanyol—menjadi ciri khas Mancini.
Mancini memanggil kawan-kawannya di Sampdoria. Lombardo, Vialli, Nuciari, Salsano, Evani. Mereka lah ring setengah Mancini. Bersama dengan Viscidi dan Gagrialdi. Berdelapan, mereka menjadi tulang punggung tim nasional Italia.
Apa yang dilakukan Mancini, karena dia beruntung. Ekosistemnya mendukungnya menerapkan filosofi sepakbola yang diinginkannya. Viscidi dan Gagrialdi serta FIGC, membuatnya jadi mungkin.
FIGC, diminta Mancini, untuk menerapkan aturan di Liga Italia, memainkan penuh pemain muda. Dan menetapkan harus ada 25 pemain muda di setiap klub. Dan setiap klub harus memainkan pemain muda sepanjang 90 menit pertandingan.
Sejak 2013 juga, para pelatih revolusioner muncul. Maurizio Sarri di Empoli lalu Napoli–kemudian Chelsea, Antonio Conte di Juventus (2011-2014)–lalu membesut Italia hingga 2017, lalu Chelsea dan Inter Milan– sampai Gianpiero Gasperini yang melatih Atalanta. Pemain muda, dan permainan menyerang, jadi ciri khas klub-klub papan atas ini. Juga Sassuolo termasuk penerap sistem pemain muda dan bermain menyerang.
Untuk itu semua, Mancini berterima kasih kepada Sacchi.
Takdir memang aneh. Mancini bertemu lagi dengan Sacchi. Meski tak langsung.
Sacchi lah yang membisiki FIGC sejak awal perlunya revolusi konsep permainan sepakbola Italia. Itu terjadi pada 2010. Sacchi, orang yang dimakinya 26 tahun lalu, berjasa besar buat karirnya kemudian. Di tim nasional Italia. Di kesempatan ketiga.
****
Topik utama La Gazzeta dello Sport pesimistis betul, akan masa depan sepakbola Italia. “La Fine” alias Sudah Berakhir. Tamat. Ini merespons pensiunnya Andrea Barzagli, Gianluigi Buffon dan Danielle de Rossi. Bek dan kiper Juventus serta gelandang AS Roma itu pensiun setelah Italia gagal ke Piala Dunia 2018.
Gazzetta meratapi pensiunnya tiga penggawa sisa anggota tim Italia di Piala Dunia 2006. Setelah Andrea Pirlo lebih dulu pensiun.
Apakah betul tamat?
Nyatanya, Italia justru terbangun dari tidurnya. Koran-koran saat ini menyebutnya sebagai Rinascimento Gli Azzuri alias Masa Pencerahan Tim Italia. Ya, ini pencerahan. Italia, meninggalkan kebiasaan lama yang tak lagi sesuai zaman, sebagai tim yang ahli bertahan.
Kini berganti menjadi tim yang produktif dalam serangan. Gol Italia tak satu atau dua. Tapi tiga dan empat. Malah melawan Armenia ada sembilan gol yang dilesakan para pemain Italia.
Tak ada yang menyangka permainan Italia menjadi atraktif. Permainan satu dua, dengan tiga pemain mengurung satu sampai dua pemain lawan. Memainkan bola pendek-pendek. Sambil menyerang, berlari cepat atau sambil berlari pelan dan berjalan.
Hanya dua pemain yang berusia di atas 33 tahun. Yakni dua bek kembar mereka. Giorgio Chiellini dan Leonardo Bonucci. Keduanya mirip pasangan serasi. Sejak Juventus sampai tim nasional, tak terpisahkan. Chiellini yang ikut mengawal pertahanan melawan Swedia di play-off kualifikasi Piala Dunia 2018, tak menyangka taktik Mancini. Dan juga obsesinya. “Saya pikir dia gila. Waktu bilang kita akan memenangkan Euro 2020.”
Ya, Chiellini realistis. Italia tak lagi superior. Melawan Israel, yang masih dianggap lemah, cuma bisa melesakan satu gol. “Situasi ruang ganti tidak kondusif. Para pemain saling menyalahkan. Dan pelatih, juga menyalahkan kami. Kami berpikir, apa dia (pelatih) tak melihat usaha kami membantu dia (memenangkan pertandingan)?,” kata Chiellini mengenang situasi 2017.
Maka, ketika pasukan muda disuntikkan ke skuad Italia pada 2018, Mancini tak langsung mendapat respons yang bersemangat dari tim. Tapi, tak juga mendapat penolakan.
Sampai kualifikasi Euro, satu demi satu pertandingan dilakoni. Plus UEFA National League. Italia ketagihan menang. 27 kali bertanding tanpa kalah. Di kandang lawan maupun kandang sendiri, Italia.
Mancini, menggunakan pemain yang berbeda-beda di depan dan tengah. Satu yang tetap main, Lorenzo Insigne. Immobile dan Bellotti bergantian. Bahkan Frederico Chiesa—ayahnya Enrico Chiesa adalah teman Mancini—baru sering dimainkan di akhir kualifikasi Euro 2020.
Berbeda dengan di belakang. Terutama dua bek tengah. Chiellini dan Bonucci, selalu tetap. Keduanya, kapten dan wakil kapten. Dan saat Euro 2020 di 11 negara, Italia kebagian bermain di empat negara, Italia tiga kali, dan dua kali di London, Inggris, diantaranya.
Dari 26 pemain yang dibawa ke Euro 2020, 24 diantaranya sudah bermain bergantian. Kecuali kiper yang tak pernah diganti, tetap Gianluigi Donnarumma.
Termasuk di pertandingan terberat, melawan Spanyol. Yang membuat Italia harus mengubah gaya bermainnya. Spanyol, pemilik DNA tiki taka. Tak mungkin dilawan Mancini dengan Tiki Italia yang murni. “DNA Spanyol itu menguasai bola. Maka jangan pernah dilawan. Kita harus cerdas dan adaptif menghadapi situasi,” kata Mancini usai menjuarai Euro 2020.
Betul saja, Italia terlihat culun menghadapi Spanyol di Semi Final. Italia seperti tak berkembang. Tak bisa menguasai bola. Bola selalu terebut. “Kami tak perlu mengejar mereka. Mereka masternya,” kata Mancini. Yang dibutuhkan, kata Mancini adalah Italia harus melakukan transisi cepat, bertahan kemudian menyerang.
Maka, setelah di babak pertama tanpa serangan berarti ke gawang Spanyol, di babak kedua Italia membahayakan gawang Spanyol lima kali. Dan menghasilkan satu gol. Sementara Spanyol hanya punya kesempatan tiga kali. Menghasilkan satu gol juga. Dua pemain Juventus, Chiesa di Italia dan Alvaro Morata di Spanyol adalah pencetak golnya.
*****
“Kami pusing dan kesal mendengar pawai dan keramaian sejak Rabu (Inggris menang melawan Denmark di Semi Final). Football coming home (Sepakbola akan kembali ke rumah). Mengapa tak ada rasa hormat kepada lawan?,” kata Bonucci kepada wartawan, usai juara Euro 2020. Bonucci dinobatkan jadi pemain terbaik di Final Euro melawan tuan rumah Inggris. Kurangnya rasa hormat itulah, kata Bonucci, yang memacu mereka, harus menang di kandang lawan. “Sekarang pialanya akan ke Roma. Dalam penerbangan yang pasti menyenangkan. Ini buat penikmat sepakbola di manapun mereka berada. Tak cuma fans Inggris. Pastinya, seluruh warga Italia,” kata Bonucci.
Butuh 67 menit buat Italia menyamakan kedudukan. Setelah kebobolan gol Luke Shaw di menit kedua. Setelah kebobolan, Itali menguasai bola sampai 60 persen. Dan Italia menampilkan jati diri yang baru. Mengurung Inggris di wilayah pertahanannya sendiri.
DNA Italia, yakni bertahan, tetap muncul. Dengan mematahkan setiap serangan Inggris. Termasuk trik berulang yang dilakukan Raheem Sterling, menjatuhkan diri di kotak penalti—trik ini berhasil menyingkirkan Denmark, membuat Inggris tampil di Final Euro 2020, setelah 55 tahun terakhir kali tampil di final turnamen dunia, yakni Piala Dunia 1966.
Intimidasi garda pertahanan Italia yang dikomandani Chiellini dan Bonucci kepada para penyerang Inggris berhasil. Sterling dipelototin dan disuruh bangun oleh Bonucci dan Donnarumma saat diving. Bukayo Sakka ditarik Chiellini hingga terjatuh.
Hingga penalti menentukan nasib Gareth Southgate, pelatih Inggris dan Mancini. Kita tahu siapa yang menang.
Mancini berhasil memanfaatkan kesempatan ketiganya.
Kisah Mancini, sebetulnya mirip Southgate. Southgate juga diberi kesempatan lain, di timnas. Setelah gagal penalti di Euro 1996 di Inggris. Waktu itu, Football Coming Home juga temanya.
Southgate mendapat kepercayaan menangani pemain yunior, awalnya. Kemudian dipercaya menangani tim senior.
Mancini dan Southgate adalah dua pemain sepakbola yang merasakan penyesalan di tim nasional masing-masing.
Penyesalan Mancini saat menjadi pemain adalah keluyuran hingga ditolak masuk tim ke Piala Dunia 1986, dan menolak bermain lagi untuk tim nasional Italia di usia 29. Penyesalan Southgate adalah gagal membawa tim Inggris juara Euro 1996.
Southgate punya kesempatan kedua. Tetap menjadi pelatih tim Inggris. Harapannya menang, tak tercapai di Final Euro 2020. Tapi, paling tidak, Southgate yang sekarang dua langkah lebih maju daripada Southaget di usia 25 tahun—yang gagal penalti di Euro 1996. Pertama, mengalahkan Jerman 2-0. Kedua, mengantarkan Inggris ke Final Euro 2020.
Ya, semua orang punya kesempatan kedua dan kesempatan-kesempatan lain selanjutnya. Tapi hanya sedikit yang memanfaatkan kesempatan kesempatan lain tersebut menuju perbaikan. Mancini berhasil optimal memanfaatkannya. Tapi, apakah Mancini akan kembali membawa Italia juara? Kali ini di Piala Dunia 2022 di Qatar? Atau Southgate yang memanfaatkan kesempatannya lagi, yang ketiga mungkin?
(YOP)