Superioritas Liverpool atas Villareal ditentukan 45 menit babak kedua di game kedua yang digelar di El-Madrigal atau Estadio de la Ceramica, stadion kecil berkapasitas mirip Stadion Pakansari di Bogor sana, stadion kebanggaan Kapal Selam Kuning.

Di babak pertama, Liverpool mati angin dan langsung dihajar oleh gol cepat Boulaye Dia di menit ke-3. Tandukan Coquelin menjelang babak pertama usai membalikkan semangat pasukan Unai, dan mereka memasuki babak kedua dengan optimisme tinggi: membalikkan ketertinggalan skor dalam satu babak, dan masih punya satu babak 45 berikutnya, dan bertanding di depan tuan rumah yang memberi dukungan penuh.
Sayangnya, pilihan strategi yang dimainkan Unai babak kedua salah total. Sementara Klopp menggedor pertahanan dengan memainkan Diaz menggantikan Jota yg kurang lincah. Hasilnya, 3 gol dicetak Liverpool di babak ini.
Harapan Villareal yang terbuka lebar di babak pertama tersungkur oleh gol Fabinho yang mengolongi kaki kiper Rulli. Gol kedua, umpan kaki kiri Trent –meski ia bukan pemain kidal– ditanduk Diaz dan lagi-lagi, masuk lewat kolong. Gol ketiga Mane, juga merupakan kesalahan Rulli yang gagal membendung Mane di luar kotak penalti. Tekel pemain belakang Villareal untuk menghentikan Mane juga gagal, dan Mane mendapati gawang yang sudah kosong melompong lalu menyepaknya tak terlalu keras.
Simone Inzaghi, pelatih Inter Milan, menggambarkan situasi yang dialami Villareal dengan kata-kata tepat: Liverpool itu suka memberi harapan palsu pada lawan-lawannya, sebelum kemudian mereka menghukumnya. Timnya pernah merasakan yang begini. Dan, kalau dinyanyikan jadi lagu, “Sakitnya tuh di sini….”
Di sisi Liverpool, harapan masih terus dikejar, dan dijalani dengan setapak demi setapak. Final pertama melawan Chelsea di Carabao Cup sudah dipungkasi dan piala berhasil digondol. Harapan kedua ditancapkan di Final FA Cup, di tempat yang sama dengan lawan yang juga sama, dan masih menunggu digelar. Harapan ketiga, final Liga Champions di Paris, juga dipakukan, menunggu entah City atau Madrid yang akan jadi lawan.
Begitulah bola. Sama seperti hidup juga. Tidak ada sesuatu yang pasti. Tetapi ketika harapan itu diperjuangkan, dikejar, diusahakan, satu per satu harapan akan jadi kenyataan. Dalam hidup, juga terbuka pilihan-pilihan. Hasilnya ditentukan oleh keputusan-keputusan yang diambil. Keputusan Klopp memasukkan Diaz sejak awal babak kedua, mengubah arah pertandingan, dan kemudian hasil. Keputusan Unai untuk memilih bertahan di babak kedua, menghasilkan penderitaan dan kepahitan.
Keputusan-keputusan besar ditopang oleh keputusan-keputusan kecil yang juga tepat. Keputusan Fabinho menembak langsung ke kolong kaki Rulli –alih-alih mengopernya ke Mane dan Keita yang ada di mulut gawang, membelokkan permainan.

Gol kedua adalah keputusan Trent yang mengumpan dengan kaki kiri –di luar kemampuan alaminya yang kuat di kaki kanan, menambah penderitaan Villareal.

Terakhir, keputusan Rulli keluar dari Sarang menghadang Mane, menghasilkan hukuman akhir yang sulit untuk dicarikan obatnya lagi. Harapan tim tuan rumah yang membubung tinggi memasuki babak kedua, terhempas ke bumi sebelum babak kedua pungkas.
Dalam sepakbola, juga dalam hidup, yang terpenting adalah mengelola harapan sebaik-baiknya dengan keputusan keputusan besar yang diikuti keputusan-keputusan kecil yang tepat.
Liverpool menuju ke final Liga Champions ketiganya dalam lima tahun terakhir, menyingkirkan harapan-harapan palsu lawan-lawannya, yang lebih mirip seperti ilusi.