Saat ini sangat sulit menemukan pemain dengan jalan karier seperti Francesco Totti di sepak bola. Totti menyadari hal itu. Sebab, dia melihat sepak bola sudah berbeda.
Totti menghabiskan karier panjangnya di sepak bola dengan membela satu tim, AS Roma. Totti memulai dari level junior, meraih kejayaan, periode sulit, bangkit, hingga ditangisi seisi Olimpico ketika pensiun.
Totti setia dengan AS Roma bukan karena tidak ada klub lain yang menginginkan jasanya. Totti punya banyak tawaran. Dia adalah salah satu pemain terbaik pada generasinya. Tapi, keputusannya adalah tidak pernah meninggalkan Roma.
Di jamannya ada beberapa pemain bintang yang nyaris sama dengan Totti, sebut saja Jamie Carragher di Liverpool, Ryan Giggs dan Paul Scholes di Manchester United, Paulo Maldini di AC Milan, ataupun Carlos Puyol di Barcelona.
Totti menyadari bahwa jalan karier yang dibangun bersama Roma tampak ‘aneh’ bagi sepak bola saat ini. Tapi, menurut Totti, sepak bola di era dia bermain dan saat ini sangat berbeda dan sulit dibandingkan.
“Saya memulai pada waktu yang berbeda. Sepak bola yang berbeda. Sepak bola yang terbuat dari cinta, kasih sayang pada fans. Bermain untuk tim yang selalu saya dukung, jauh lebih mudah bagi saya untuk membuat pilihan ini,” kata Totti.
“25 tahun dalam satu tim bukanlah hal yang kecil, dan menjadi kapten, menjadi salah satu pemain terpenting, Anda selalu perlu mengukurnya. Tetapi untuk membuat perbandingan antara periode saya dan hari ini, itu sulit.”
“Hari ini lebih banyak bisnis. Anda pergi ke mana Anda bisa menghasilkan lebih banyak uang. Dan itu cukup adil, bukan?,” tegas Totti.
Sempat Dilirik Tim lain
Totti punya banyak tawaran dari klub lain. Bahkan, ketika dia belum berada pada level senior. Pada usia 12 tahun, Totti mendapat tawaran bermain untuk AC Milan dari Ariedo Braida yang kala itu menjadi direktur.
Totti sempat terpikat dengan Milan yang sedang berjaya. Dia sempat berpikir untuk membela Milan sebelum akhirnya membuat pilihan bertahan di Roma. “Keputusan selalu dibuat oleh saya, dengan kepala saya sendiri,” kata Totti.
“Seringkali orang tuamu akan memberimu nasihat. Dan benar untuk mendengarkan mereka. Tapi kemudian, pada akhirnya, karena masih sangat muda, saya tahu saya punya waktu dan masa depan di depan saya,” tegasnya.
Pada level senior, satu tawaran yang membuat Totti bimbang datang dari Real Madrid. Tak lama usai membawa Italia menjadi juara Piala Dunia 2006, Real Madrid meminta Totti bergabung dan dia sempat galau.
“Tentu saja saya memikirkan. Katakanlah ada beberapa hari di mana saya punya satu kaki masuk dan satu kaki keluar. Kemudian, saya sering bilang bahwa pilihan untuk tetap bersama Roma dibuat dari hati.”
“Real Madrid adalah satu-satunya tim lain yang bisa menjadi tempat saya bermain. Satu-satunya tim yang mungkin, saya pikir. Pengalaman di negara yang berbeda bisa menjadi sesuatu yang indah bagi semua orang. Untuk keluargaku. Untuk saya,” tutupnya.
Perubahan di sepakbola
Menanggapi pernyaan Totti tersebut, pengamat sepakbola Mochamad Kusnaeni menilai memang semakin langka pemain yang setia hanya kepada satu klub namun Itu adalah hal yang lumrah dalam era globalisasi dan industri sepak bola.
“Tingkat persaingan begitu ketat. Sehingga pemain yang mulai dimakan usia akan sulit bertahan jika tuntutan prestasi di klubnya sangat tinggi. Akhirnya ia harus pindah ke klub yang lebih membutuhkan. Itu yang banyak terjadi saat ini. Fenomena pemain yang sebetulnya ingin setia tapi akhirnya harus menerima kenyataan klubnya tidak ingin mempertahankan dia.” Ujar pengamat yang biasa dipanggil Bung Kus ini.
Bung Kus tidak menampik kalau memang saat ini ada pemain-pemain yang lebih memikirkan uang dibanding dengan kesetiaan.
“Ada memang pemain yang tidak menomorsatukan kesetiaan kepada klub yang membesarkan dia. Apalagi kalau dia merasa level ekspektasi dia dengan klubnya tidak sejalan. Tapi sebagian besar pemain pergi karena faktor persaingan. Tidak hanya persaingan dengan pemain yang baru direkrut, tapi juga dengan pemain seangkatan dia yang sama-sama besar di satu klub.” Tutupnya.
(DRO)