Taiching:
“Buat banyak orang, grafik (operan tim Barcelona) itu cuma jadi gambar benang tenun dan rajutan. Buat Tuchel, itu harta karun,”
Cape rasanya jadi Josep Pep Guardiola. Juara di liga-liga domestik Eropa, tapi belum juga mendapatkan piala pengukuh kedigdayaan klub seEropa, dengan Liga Champions Eropa. Pep, punya koleksi dua Piala Liga Champions saat menjadi manajer Barcelona, 2008-2009 dan 2010-2011.
Setelah itu? Di klub kaya raya Jerman Bayern Munchen, Pep gagal. Di Manchester City, klub kaya raya di Inggris, belum juga dapat Si Kuping besar—sebutan Piala Liga Champions Eropa.
Saking kepengennya, Pep berseloroh di panggung Penghargaan Asosiasi Penulis Sepakbola 2019. Jurgen Klopp dan Pep jadi tamu kehormatan yang bicara di depan para wartawan sepakbola.
“Saya yakin Jurgen (Klopp) mau piala yang saya peroleh (Liga Primer Inggris). Sementara saya, dia (Klopp) juga yakin, saya mau piala itu (Liga Champions yang diperoleh Liverpool yang diasuh Klopp). Mungkin kami bisa tukar?,” kata Pep, disambut tawa yang hadir.
Pep menunggu si Kuping Besar, lambang peneguhannya sebagai maestro taktik di sejumlah klub di kompetisi lokal. Taktik Pep yang bisa berubah sesuka hati di lapangan, dengan intensitas tinggi, baik menyerang maupun bertahan dengan pressing yang ketat terhadap lawan. Yang mudah menaklukan lawan. Di 2018-2019, cuma Liverpool nya Jurgen Klopp yang bisa meladeni pressing dan serangan gencar pasukan Pep. Pep kalah berulang kali oleh Klopp. Di Inggris, dan Eropa.
***
Pep belajar sepakbola dari maestro sepakbola menyerang, Johan Cruyff. Cruyff adalah pelatih Barcelona saat Pep jadi pemain. Pep bilang dalam biografinya– Pep Confidential dan Pep Guardiola: Another Way of Winning, mengaku bahwa dia belajar banyak dari sang maestro. “Saya tahu sepakbola karena dia (Cruyff),” kata Pep.
Kebetulan, Cruyff memang mengamati para pemain berbakat di Barcelona saat melatih tim tersebut pada 1988. Cruyff memerintahkan Charles Rexach agar Guardiola berperan sebagai pivot, satu fungsi yang cukup berat sebagai pemain tengah bertahan. Selain menjadi playmaker, juga menjadi penghalau bola pertama serangan balik lawan. Di era saat ini, peran itu dibagi oleh dua pemain tengah bertahan.
Maka, inilah ciri permainan Pep di Barcelona, di Bayern Munich dan Manchester City. Umpan pendek satu dua yang cepat dan akurat.
Namun, kecuali di Barcelona, taktik itu belum terbukti manjur di klub lain. Malam ini, Pep ingin membuktikannya.
Malam ini, Pep bakal meladeni kembarannya. Thomas Tuchel (baca Tukel dengan e pepet). Tukel menjadi manajer Chelsea pada Januari 2021, setelah Frank Lampard dipecat Roman Abramovich, juragan migas asal Rusia yang pemilik Chelsea.
Tuchel, punya resep yang serupa dengan Pep. Umpan pendek cepat dan akurat. Termasuk dengan dua pemain tengah bertahannya yang cerdik dan cerdas. Yang cerdas namanya Jorginho, merupakan playmaker Chelsea. Dan yang cerdik adalah N’Golo Kante, pemutus aliran bola lawan di lapangan tengah.
Dan dari dua pertemuan, Tuchel menang semuanya. Skor 1-0 di kandang, Stamford Bridge. Skor 2-1 di kandang Manchester City, Etihad. Malam nanti, adalah pertemuan ketiga Tuchel dan Pep dalam enam bulan. Dan final kedua di Liga Champions, buat Tuchel. Musim lalu, Tuchel yang melatih Paris Saint Germain kalah 1-0 dari Bayern Munchen nya Hans Dieter Flick.
*****
Selama dua jam video itu dihentikan Tuchel. Video documenter tentang Pep Guardiola. Tuchel suka dengan gaya bermain anak-anak asuh Pep. Waktu itu, Tuchel adalah manajer Mainz, klub sepakbola Jerman. Tuchel mempelajari grafik operan para pemain Barcelona di tangan Pep. “Buat banyak orang, grafik itu cuma jadi gambar benang tenun dan rajutan. Buat Tuchel, itu harta karun,” kata mantan tim pelatih Schalke 04, Christian Heidel.
Ya,….Tuchel adalah fans Pep. Bagaimana dia melatih dan konsep yang dimainkannya di lapangan. Apa solusi saat tak berjalan seperti konsepnya. Semua dipelajari Tuchel.
Demi mempelajari taktik Pep, Tuchel terbang ke Camp Nou, bertemu langsung sang idola pada 2009. Pep, tak langsung menerimanya. Pep, bukan orang yang suka bicara banyak kepada orang lain. Apalagi “rahasia dapurnya” di belakang panggung lapangan sepakbola.
Tapi, Pep bicara panjang lebar kepada Tuchel. Karena melihat ada yang berbeda dari sang pelatih muda. “Anak muda ini punya sesuatu, punya ide. Dia pelatih muda yang menarik.” Pep berujar kepada Michael Reschke, Direktur Olahraga Bayern Munich. Waktu itu, 2014, Pep menjelaskan kenapa dia menerima Tuchel pada 2009.
Saat Pep jadi manajer Bayern Munich pada 2014, Tuchel mengundangnya makan malam. Tuchel bertemu kembali dengan Pep, bicara sepakbola seharian. Setahun setelah itu, Tuchel jadi pelatih Dortmund dan Pep di Bayern Munich. Munich, seperti biasa peringkat satu Bundesliga. Dortmund runner up.
Lima tahun kemudian, mereka kembali berkompetisi, sang idola dan sang pengagumnya. Di Liga Primer Inggris. Dan di Final Liga Champions Eropa 2020-2021. Malam ini, dua tim kembar, dengan taktik dan skema yang mirip saling beradu di lapangan Stadio do Dragao, Porto, Portugal.
Peraciknya, dua pelatih jenius. Yang belajar tak cuma di lapangan. Tapi juga pemilik konsep bermain bola. Yang satu gelandang bertahan di tim kuat Spanyol dan Eropa, Barcelona. Satu lagi bek tengah yang terpaksa pensiun di usia 25 tahun karena cedera berkepanjangan. Pep Guardiola dan Thomas Tuchel. Pertemuan mereka di Liga Champions Eropa diberi tajuk media Eropa, sebagai pertemuan dua manajer yang ahli bermain catur. Penuh siasat.
Yang menang melepas dahaga ambisinya dan obsesinya atas si Kuping Besar, Piala Liga Champions Eropa.
(YOP)