Pernyataan maaf yang disampaikan oleh Walikota Solo Gibran Rabuming Raka akibat kejadian Suporter Persis Solo yang terlibat kericuhan dengan warga yang diduga pendukung PSIM di beberapa tempat di Yogyakarta saat perjalanan ke Stadion Moch Saebroto Magelang, Senin kemarin yang menyebabkan 3 orang rombongan dari Solo dikabarkan mengalami luka ringan patut diapresiasi.
Sebagai seorang Walikota yang menyadari adanya keterlibatan warganya dalam sebuah peristiwa kericuhan adalah bentuk dari kesadaran pemimpin akan adanya kesalahan yang dilakukan oleh warganya, dan mempertanggung jawabkan segala kerusakan yang ditimbulkan akibat kejadian itu.
Namun, apakah itu cukup untuk persepakbolaan Indonesia ke depannya? Tentu tidak! Masih banyak sekali yang harus kita perbaiki agar kejadian-kejadian seperti itu tidak terulang.
Rivalitas Persis Solo dan PSIM Yogyakarta
Berbicara Solo dan Jogja tentunya banyal hal yang bisa dikulik. Hubungan antara Solo dan Yogyakarta tak lepas dari letak geografis kedua kota ini. Jarak antara Surakarta dan Yogyakarta melalui Jalan Raya Solo-Yogyakarta adalah sekitar 63 km. Klaten, menjadi penengah antara Solo dan Yogyakarta dari segi geografis. Selain jarak yang dekat, Yogyakarta dan Surakarta kedekatannya tak bisa dilepaskan dari sejarah Kerajaan Mataram. Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 memecah Kerajaan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, yang akhirnya menjadi Jogja dan Solo.
Itulah sebabnya banyak kemiripan yang ditemui di Solo dan Yogyakarta karena pada dasarnya dua kota ini merupakan saudara dari satu orang tua, yaitu Kerajaan Mataram. Hubungan antara Solo dan Yogyakarta terus berlanjut hingga kini dan merambah aspek olahraga seperti sepak bola. Solo punya tim bernama Persis dan Jogja bernama PSIM.
Pada era Perserikatan, Persis Solo dan PSIM Yogyakarta sudah berdiri. PSIM Yogyakarta sebelumnya bernama Perserikatan Sepak Raga Mataram (PSM) saat berdiri pada 5 September 1929. Kemudian berubah menjadi Perserikatan Sepak Bola Indonesia Mataram (PSIM) pada 27 Juli 1930. Sedangkan Persis Solo awalnya bernama Vorstenlandsche Voetbal Bond (VVB) saat berdiri pada 8 November 1923. Pada tahun 1928, VVB kemudian berubah nama menjadi Persatuan Sepak Bola Indonesia Solo (Persis) dan bertahan hingga saat ini.
PSIM dan Persis sendiri adalah dua dari 8 klub pendiri PSSI pada tahun 1930 dan sudah bersaing sejak kompetisi Perserikatan pertama kali dimulai pada tahun 1931. Pada tahun 1939 rivalitas antara PSIM Yogyakarta vs Persis Solo kian nyata. Persis Solo menjadi juara Perserikatan 1939 sedangkan PSIM Yogyakarta menjadi runner up. Hal yang sama terjadi pada tahun 1940, Persis Solo menjadi juara dan PSIM Yogyakarta menjadi runner up.
Kemudian pada tahun 1943 dan 1948, rivalitas kedua tim terus berlanjut. Masih dengan Persis Solo sebagai juara, dan PSIM Yogyakarta sebagai runner up. Namun setelah itu, rivalitas soal prestasi antara mulai meredup karena dua tim ini kesulitan bersaing di kasta tertinggi. Rivalitas antara PSIM dan Persis juga tak bisa dilepaskan dengan rivalitas antara suporter kedua tim, terutama Brajamusti dan Pasoepati.
Rivalitas-rivalitas klub di Indonesia
Di Indonesia rivalitas tidak hanya ada di Persis Solo dan juga PSIM Yogyakarta. Ada juga rivalitas antara Persija Jakarta dengan Jakmania dan Persib Bandung dengan Bobotohnya yang dimulai pada awal tahun 2000an dimana kekerasan terhadap keduanya dimulai saat adanya salah satu kuis di stasiun TV yang mengundang supporter keduanya. Setelah itu terjadi tindakan serangan terhadap salah satu bus supporter. Dan rivalitas yang cenderung menggunakan kekerasan terus berlanjut bahkan hingga mengorbankan nyawa.
Di ujung timur Pulau Jawa pun ada rivalitas antara Persebaya Surabaya dan juga Arema Malang. Munculnya perselisihan kedua kelompok suporter Bonek dan Aremania memang masih menjadi tanda tanya mengingat kedua tim lahir dengan jarak tahun yang cukup jauh. Persebaya lahir pada 1927, sementara Arema didirikan pada 1987.
Banyak yang berpendapat bahwa rivalitas kedua kelompok suporter itu lahir karena persaingan Persebaya dengan Persema Malang untuk menunjukkan yang terbaik di Jawa Timur. Saat Arema lahir, warga Malang pun mulai beralih mendukung tim tersebut.
Selama ini, muncul berbagai catatan dan tulisan yang menyebutkan bahwa rivalitas antara Aremania dan Bonek merupakan representasi dari Malang dan Surabaya. Kedua kota itu memang dikenal sebagai dua kota terbesar di Jawa Timur.
Lantas, bagaimana awal mula persaingan antara Arema dan Persebaya Surabaya ini lahir hingga memunculkan perseteruan Aremania dan Bonek?
Tanggal 26 Desember 1995 mungkin tidak akan dilupakan Persebaya dan Bonek. Tanggal itu bisa dibilang merupakan satu di antara penyebab perseteruan Bonek dengan suporter asal Malang. Pada tanggal tersebut, Persebaya melakoni partai tandang menantang Persema Malang dalam lanjutan Liga Indonesia 1995/1996. Singkat cerita, pertandingan yang berakhir dengan skor 1-1 itu tampaknya kurang memuaskan suporter tuan rumah, Ngalamania.
Bus pemain Persebaya yang akan bertolak menuju Surabaya tiba-tiba diadang sekelompok Ngalamania di tengah jalan. Kaca-kaca pun pecah dan salah satu pemain Persebaya, M. Nurkiman, mengalami luka pada mata bagian kiri. Akibat insiden itu, mata kiri Nurkiman mengalami cacat permanen dan tidak bisa berfungsi seperti sedia kala. Pria kelahiran 8 Januari 1973 itu tidak bisa menjalani kompetisi musim tersebut secara penuh karena berada di bawah penanganan medis.
Musim berikutnya, nama Nurkiman dipanggil untuk dalam skuat asuhan Rusdy Bahalwan dalam Liga Indonesia 1996/1997. Akan tetapi, pria didikan Indonesia Muda, klub internal Persebaya, itu menolak tawaran tersebut. Sampai saat ini, hubungan kurang harmonis masih menghiasi antara Bonek dengan Aremania, suporter Arema. Insiden yang menimpa Nurkiman ini disinyalir menjadi cerita awal rivalitas dua kelompok suporter ini.
Sebenarnya masih ada lagi rivalitas-rivalitas lainnya, namun 3 rivalitas tersebut yang sarat dengan kekerasan maupun potensi kericuhan.
Apa yang harus dilakukan?
Rivalitas dalam sepak bola itu adalah hal yang biasa dalam sepakbola, kita melihat di negeri yang katanya asalnya sepakbola, Inggris misalnya, bagaimana kerasnya rivalitas antara Manchester United dan Liverpool, atau di Spanyol ada Real Madrid dan Barcelona, atau di Liga Turkey ada rivalitas legendaris antara Galatasaray dan Fenerbache.
Sebenarnya ada yang bisa kita tiru dari bagaimana FA Inggris bebenah terkait supporter di sana setelah mendapat hukuman pasca Tragedi Heysel. Dan pembenahan yang dilakukan itu cukup signifikan seperti menghilangkan jarak penonton dengan lapangan dan menghapus pagar penghalang sehingga jika ada kejadian yang tidak diinginkan yang dilakukan oleh supporter, antisipasi bisa lebih cepat dilakukan dan tidak menyebabkan penonton terhimpit pagar. Mereka juga melatih steward pertandingan dengan baik sehingga dalam mengawasi supporter menggunakan pendekatan yang humanis.
Indonesia saat ini sudah memiliki Undang-undang Keolahragaan Nasional yang didalamnya juga mencakup tentang supporter. Maka dengan adanya payung hukum tersebut dengan menciptakan aturan-aturan turunan yang lebih detail memberi perlindungan lebih kepada seluruh supporter. Perlindungan ini bias dimulai dengan bagaimana melakukan edukasi kepada supporter hingga ke akar rumput. Untuk itu aturan-aturan turunan tadi memaksa seluruh stake holder sepak bola terlibat dalam edukasi supporter tadi.
Sehingga permintaan maaf Gibran tadi segera dibarengi dengan keterlibatan melakukan edukasi ke suporternya. Dan juga memaksa untuk pihak klub juga terlibat. Juga perusahaan-perusahaan yang selama ini mengambil keuntungan dari sepakbola harus terlibat, supporter jangan hanya dijadikan obyek semata.
Selain supporter, edukasi juga harus dilakukan kepada pihak penyelenggara, misalnya pelatihan steward, lalu juga bagaimana antisipasi terhadap pertandingan-pertandingan yang dengan rivalitas tinggi seperti contoh-contoh diatas. Bagaimana sistem penyelenggaraan mulai dari penjualan tiket, mengatur antrian tiket sehingga kejadian yang menimpa bobotoh yang meninggal karena berdesak-desakannya penonton tidak terjadi lagi.
Juga mengatur bagaimana kordinasi dengan pihak lain seperti pihak keamanan untuk menjaga termasuk daerah-daerah di luar stadion sehingga kejadian seperti di Yogyakarta kemarin bisa diantisipasi.
Oleh karena itu dengan aturan-aturan turunan tadi, Indonesia bisa memperbaiki urusan supporter ini kedepannya. Dan seluruh supporter memiliki satu pemikiran, “Ada hal yang lebih besar dari Rivalitas atau bahkan dari sepakbola itu sendiri, Yakni : Kemanusiaan.”
Penulis adalah Ketua Umum Paguyuban Suporter Timnas Indonesia (PSTI) dan pendiri Kanalbola.id