“…saya menunggu momen yang tepat. Kapan? Saya juga belum tahu sampai waktunya tiba.”
Raheem Sterling memegang kepalanya. Menunduk, berjongkok. Lalu mengelus dadanya. Lega. Di menit 80 di Stadion Wembley, London, Inggris. Dia menengadah, layaknya memanjatkan puji syukur kepada Tuhan. Karena penyerang Jerman, Thomas Mueller gagal mencetak gol.
Waktu itu, Mueller berdiri bebas menerima operan Kai Havertz. Mueller berlari dan melepaskan tembakan ke sisi kanan bawah gawang Inggris.
Dua detik kemudian, Jordan Pickford, penjaga gawang Inggris, juga menarik nafas lega. Dia sudah salah posisi. Pickford beruntung, tapi masih sempat membentak Sterling, penyerang Manchester City, karena melakukan kesalahan fatal.
Ya, itu salah Sterling. Sterling yang empat menit sebelumnya mencetak gol buat Inggris, malah memberi bola gratis ke Havertz yang meneruskannya ke Mueller. Sterling, hampir saja dari pahlawan jadi pecundang.
Bila kejadian, gol Mueller bisa membangkitkan kepercayaan diri Jerman, yang di babak kedua mengurung daerah pertahanan Inggris. Skor 1-1, bisa berbeda ceritanya buat Gareth Southgate dan pasukan The Three Lions.
Selanjutnya, hanyalah kisah keberhasilan Inggris mengalahkan Jerman. Pertama kalinya di Piala Eropa. Pertama kalinya lagi di fase gugur turnamen dunia. Pertama kalinya, mematahkan rekor Jerman 7 kali tak pernah kalah di Stadion Wembley.
Harry Kane mencetak gol kedua, di menit 83. Sundulannya memantul dan mengecoh kiper Jerman, Manuel Neuer. Neuer–kiper terbaik bersama Alisson Becker, kiper Brasil—hanya menangkap angin. Bola sundulan Kane, menggetarkan jala sebelah kiri gawang Jerman. 2-0 buat Inggris. Di Stadion Wembley.
Dua gol, adalah kreasi seorang pemain pengganti, Jack Grealish. Gol pertama hasil dari gerakan menipu dua bek Jerman. Kakinya seperti ingin menendang langsung ke gawang. Tapi dia mengoper ke samping kiri, ke sayap bertahan Inggris, Luke Shaw yang meneruskan bola ke Sterling.
Gol kedua, hampir mirip. Bedanya Grealish yang dioper Shaw, dan Grealish yang meneruskan bola ke tengah, setinggi lutut saja, buat Harry Kane yang menunggu sodoran bola. Kane, sambil menjatuhkan diri, meneruskan bola dengan kepalanya ke gawang Jerman. Ini insting yang tak biasa. Lazimnya, seorang penyerang mencocor dengan kaki.
Sejak menit 70, waktu Grealish masuk menggantikan Bukayo Saka, permainan Inggris belum kelihatan berkembang. Hanya ada sedikit perbedaan. Bola lebih bisa mengalir lancar, dengan skill dribbling Grealish yang memang lebih menonjol dibanding rekan-rekannya yang lebih mirip pekerja keras pengejar bola.
Grealish, pemain yang ditunggu-tunggu penonton Inggris sejak babak pertama. Di babak kedua, menyaksikan permainan tim nasionalnya tak berkembang, para penonton Inggris meneriakan nama Grealish. “Saya sudah dengar. Tapi saya menunggu momen yang tepat. Kapan? Saya juga belum tahu sampai waktunya tiba,” kata Gareth Southgate kepada wartawan usai pertandingan.
Skill kapten klub Aston Villa itu, sebetulnya tak jauh beda dengan rekan-rekannya. Bukan maestro dribel layaknya seniornya McManaman atau pendikte lawan layaknya Paul Gascoigne. Tapi Grealish pemain yang dinilai cerdas. Tipe playmaker yang menyerang, dan pintar melihat posisi kawan. Di pertandingan lawan Skotlandia, kemahirannya mentok. Tapi di pertandingan ketiga grup D, melawan Republik Ceko, Grealish mulai tampak kelihaiannya. Dia memberi assist buat Sterling yang mencetak satu-satunya gol buat Inggris.
Dan melawan Jerman, Grealish menjadi pengubah permainan Inggris. Yang sejak awal babak kedua dikurung Jerman, jadi mempecundangi Juara Piala Dunia empat kali itu.
*******
Akhir musim Liga Primer Inggris, Jack Grealish, 25 tahun, sedang memulihkan cederanya. 26 orang pemain untuk didaftarkan pelatih Inggris, Gareth Southgate ke Euro 2020 sudah siap. Tapi mendekati hari pendaftaran 33 nama, Southgate menelpon Grealish. “Kami bicara selama 30 menit. Dia (Southgate) meyakinkan saya, bahwa dia mau menunggu saya untuk pulih (dari cedera) dan masuk tim Inggris (ke Euro 2020),” kata Grealish menceritakan bagaimana dia bisa menjadi anggota tim Inggris di saat terakhir.
Nama yang dicoret, digantikan Grealish, adalah Jessie Lingard.
Gara-gara mencoret nama Lingard yang segar bugar, dan memasukan Grealish yang cedera, Southgate dituding di media massa Inggris sebagai orang yang tak rasional.
Sebelumnya, keputusan Southgate memasukkan kapten Liverpool sekaligus kapten Inggris, Jordan Henderson masuk skuad dianggap hal gila. “Apakah Henderson sehat? Tidak. Apakah Grealish sehat? Tidak. Apakah Lingard sehat? Iya. Lalu kenapa Grealish dan Henderson yang masuk tim?,” tulis media-media di Inggris.
Tapi Southgate menjelaskan kenapa Hendo—panggilan Henderson—mesti ikut. “Dia pengangkat moral tim,” ujar Southgate, pendek, kepada wartawan. Ya, media Inggris, dikenal tajam mengkritik, menyindir dan mengecam. Tak terkecuali, media khusus olahraga.
Lalu kenapa Grealish? Tak ada jawaban. Sampai akhirnya trauma publik pecinta sepakbola di Inggris menyaksikan kemenangan Inggris atas Jerman, Selasa petang waktu setempat.
Kalau mau dibilang Southgate tak rasional, bisa juga. Southgate lebih percaya instingnya. Setelah dia berkali-kali bercakap-cakap dengan Grealish. Kebetulan, Southgate adalah penonton regular Aston Villa. Dan mereka berdua, jadi sering bercakap-cakap. “Apa saja dibicarakan oleh keduanya. Jadi kalau ada yang mengatakan salah satu dari mereka membenci satu sama lain, ya rasanya kok jauh sekali dari kebenaran,” kata seorang sumber di tim Inggris, seperti dikutip media Inggris, The Athletic. Yang pasti, para pemain Inggris tahu, Southgate punya beberapa pemain kesayangan. Mason Mount, Sterling, Kane, Harry Macguire, Jordan Henderson, adalah beberapa diantaranya yang sejak awal jadi kesayangan Southgate. Sementara Grealish, baru kemudian.
Alasannya, Grealish dianggap pemalas. Kurang bekerja keras merebut bola. Kala Inggris kehilangan bola. Sementara Mount, di posisi dan kreativitas yang sama, punya kemampuan tambahan; merebut bola. Dan James Maddison, juga playmaker Inggris, pandai melakukan intersep operan lawan.
Tapi Grealish tak sadar, sampai diberitahu. Sikapnya yang kurang keras membantu kawan-kawannya itu saat kehilangan bola, yang membuatnya, meski piawai sebagai playmaker, dan pembagi bola yang hebat, tak bisa selalu jadi pemain utama. Awalnya Grealish, sudah hilang selera, masuk tim nasional. Dia berpikir, Southgate mendapat informasi dari Aidy Boothroyd, pelatih tim Inggris U-21, yang tak harmonis dengannya. Grealish pernah menjadi anggota tim Inggris U-21. Kebetulan, Boothroyd dan Southgate adalah penggawa tim U-21. Southgate sebelumnya adalah pelatih di tim muda Inggris sebelum didapuk melatih tim senior.
Pikiran Grealish tak salah. Southgate memang mendengar prilaku buruknya. Datang terlambat dan dihukum tak ikut dalam turnamen Eropa. Tapi menurut Grealish, hukuman sudah dia jalani, tapi tak juga dia diberi kesempatan menjadi pemain utama. Selalu pemain pengganti, meski tampil impresif. Bikin gol, dan membuat tim muda Inggris terhindar dari kekalahan. Berkali-kali. Tapi sekali kurang klik, chemistry dengan pelatih akan tetap terjadi. Semua peristiwa itu terjadi pada 2017. Hingga dia berusia 22 tahun, dan keluar dari tim muda. Namun tak masuk skuad senior.
Meski mendengar hal buruk tentang Grealish, Southgate yang memang sering ke Villa Park, lama-lama jatuh hati dengan gaya bermain Grealish. Pandai melihat posisi teman. Pandai juga mengatur tempo permainan. Pandai menguasai bola. Tapi, Southgate tak buru-buru membawa Grealish ke tim nasional senior.
Karena Southgate ingin melihat Grealish kinclong di Liga Primer. Bukan jadi bintang yang kebetulan. Di Aston Villa saat masih bermain di kasta kedua Liga Inggris, yakni Divisi Championship, Grealish jadi bintang. Tapi untuk mengukuhkan dia bukan hanya di level itu, Grealish harus menunggu sampai dua musim di Liga Primer. Supaya bisa dilirik Southgate ke tim nasional Inggris.
*****
Sebetulnya, formasi 3-4-3 adalah aneh di Inggris. Hampir tak ada pelatih asal Inggris, yang memainkan formasi ini di Liga Primer Inggris. Kalaupun ada, pelatih impor model Joseph “Pep” Guardiola, Michael Tuchel, dan Marcello Bielsa, yang memainkan pola ini di Liga Primer Inggris.
Kebiasaan Inggris, memainkan empat bek. Dengan dua bek tengah dan dua bek sayap. Southgate adalah satu dari dua bek tengah itu. Termasuk saat melawan Jerman, 25 tahun lalu di semi final Euro 1996. Semi final itu, trauma yang ingin dihapus Southgate dan publik Inggris.
Kala itu, 26 Juni 1996, Inggris percaya diri juara lagi di turnamen dunia, setelah 30 tahun menjadi Juara Piala Dunia. Di Piala Dunia 1966, Inggris mengalahkan Jerman 4-2. Tapi Southgate memupus harapan Inggris yang sudah jauh-jauh hari membuat tagline buat Euro’96 sebagai “Football comes home”. Maksudnya, Inggris juara lagi di sepakbola.
Malang tak bisa ditolak, untung tak dapat diraih. Tendangan Southgate saat adu penalti, ditepis kiper Jerman, Andreas Koepke. Sementara bola tendangan Andreas Muller, gelandang Jerman, masuk.
Serba kebetulan, 29 Juni 2021, Koepke dan Southgate bertemu lagi. Koepke adalah pelatih kiper tim Jerman. Namun, hasil akhir Jerman-Inggris 25 tahun kemudian beda. Southgate belajar bagaimana mengatasi Jerman. Dan berhasil.
Southgate berhasil membuat para anak muda yang dibawanya ke Eurp 2020, mengukir sendiri sejarahnya. Dengan racikan 3 bek tengah, dan 2 bek sayap yang rajin maju mundur, membuat pertahanan Inggris kokoh. Meski permainannya jadi kurang atraktif. Luke Shaw dan Kieran Tripier, dua bek sayap kiri dan kanan, lebih sering menjaga gerakan playmaker kedua Jerman, Joshua Kimmich, dan sayap kanan Jerman yang cepat dan mematikan, Robin Gosens. Soal mautnya pergerakan Gosens, bek-bek Portugal bisa bercerita, bagaimana Gosens membuat mereka dua kali melakukan gol bunuh diri.
Sementara, dua gelandang yang melengkapi empat di tengah adalah gelandang bertahan dan pengangkut air. Declan Rice dan Kalvin Phillips. Jadilah Inggris lebih mirip formasi bertahan dengan delapan pemain. Semestinya, bila saja Mason Mount, James Madisson atau Grealish sebagai salah satu pengganti di antara empat yang di tengah sejak awal, permainan akan lebih atraktif.
Tapi target Southgate memang bukan atraktif. Menang, adalah tujuannya. “Saya tahu mengubah susunan pemain seperti ini, ada risikonya. Kalau berhasil dipuji. Kalau gagal, dikecam,” kata Southgate.
*******
“Pergi (masuk lapangan), ekspresikan dirimu. Seperti biasa kamu bermain dan senyum di wajahmu di lapangan.” Ini kata Grealish kepada BBC, usai pertandingan melawan Jerman tentang apa yang diucapkan Southgate saat dia masuk lapangan di menit ke 70, menggantikan Buyako Saka.
Saka, penyerang klub Arsenal, bukan main jelek. Gak ada kesalahan pun dia buat. Anak muda itu, cepat dan lincah bergerak. “Dia juga kuat lari mengejar bola semalaman,” kata Southgate soal Saka. Tapi selama 20 menit, di tengah gempuran Jerman di babak kedua, tak ada kreatifitas baik di tengah maupun di depan tim Inggris untuk keluar dari tekanan. “Kami butuh pemain yang bisa melakukan perubahan permainan.” Selanjutnya, adalah catatan sejarah pertemuan Jerman dan Inggris di Stadion Wembley.
Saat ini, total Grealish punya dua assist di Euro 2020. Bukan assist sembarang assist. Tapi assist yang menjadi penentu laju tim Inggris. 1-0 lawan Republik Ceko, dan 2-0 lawan musuh bebuyutan, Jerman.
Ending kisah Jerman versus Inggris di babak enam belas besar Euro 2020, semua sudah tahu.
Tepuk tangan dari tribun kehormatan, ada Pangeran William dan sang istri Kate Middleton, David Beckham, dan penyanyi Ed Sheeran. Para tokoh publik, duduk satu deret dengan keluarga kerajaan. Salut buat tim Inggris. Salut buat Southgate. Sesuai harapan Southgate,”Biarlah anak-anak muda ini mengukir sejarahnya sendiri.” Sampai mana sejarah mereka bisa ukir? Juara Euro 2020? Sebelum sampai final, mereka harus melewati Ukraina, di perempat final untuk bisa masuk semi final.
(YOP)